Makalah Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan atau PPh untuk Koperasi

Pajak penghasilan atau PPh sedang "in" saat ini. Sunset policy yang di luncurkan direktorat pajak untuk mendorong orang atau badan memilik NPWP masih terus diperpanjang. Menghitung Pajak penghasilan atau PPh dimulai dengan menghitung hitung dulu Penghasilan Kena Pajak. Rumus PPh: penghasilan dikurangi biaya-biaya. Kemudian terapkan tarif Pajak penghasilan Kena Pajak tersebut.

Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas:

1. Untuk WP orang pribadi

s
Rp. 0 s.d. Rp 25 juta, tarifnya 5%
Rp. 25 juta s.d. Rp 50 juta, tarifnya 10%
Rp. 50 juta s.d. Rp 100 juta, tarifnya 15%
Rp. 100 juta s.d. Rp 200 juta, tarifnya 25%
Rp. 200 juta ke atas, tarifnya 35%

2. Untuk WP berbentuk badan usaha
Rp. 0 s.d. Rp 50 juta, tarifnya 10%
Rp. 50 juta s.d. Rp 100 juta, tarifnya 15%
Rp. 100 juta ke atas, tarifnya 30%

Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas adalah tariff progresif. Artinya setiap lapisan Penghasilan Kena Pajak dikenakan sesuai tarifnya, tidak diakumulasi terlebih dahulu, baru dikenakan tarif. Sebelum dikenakan tarif, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan dulu sampai ribuan ke bawah.

contoh :

1. Penghasilan Kena Pajak WP orang pribadi = Rp 300.000.950
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan : Rp 300.000.000

PPh nya adalah :
5% x Rp 25.000.000 = Rp 1.250.000
10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
25% x Rp 100.000.000 = Rp 25.000.000
35% x Rp 100.000.000 = Rp 35.000.000
Total = Rp 71.250.000.

2. Penghasilan Kena Pajak WP badan = Rp 300.000.950.
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan : Rp 300.000.000

PPh nya adalah :
10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
30% x Rp 200.000.000 = Rp 60.000.000
Total = Rp 72.500.000.


Bagaimana dengan pajak koperasi? Menurut sudut pandang pajak koperasi adalah objek pajak hal ini sesuai dengan pengertian koperasi secara spesifik kedudukan koperasi di mata hukum pajak adalah sebagai berikut.

* Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, koperasi merupakan badan usaha yang merupakan subjek pajak yang memiliki kewajiban dan hak perpajakan yang sama dengan badan usaha lainnya.
* Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh koperasi adalah objek pajak.
* Modal koperasi terdiri dari :
modal sendiri dan modal pinjaman


* Anggota koperasi tidak dibedakan antara orang pribadi dan badan hukum dalam negeri.

Jika koperasi adalah badan usaha yang terkena pajak lantas penghasilaha apa saja yang menjadi objek Pajak penghasilan atau PPh

1. Bunga Simpanan Koperasi
Bunga simpanan koperasi merupakan imbalan yang diberikan koperasi kepada anggota berdasarkan simpanan wajib dan sukarela yang disetorkan kepada koperasi. Bunga simpanan koperasi yang akan diterima oleh anggota sesuai dengan Ad/ART Koperasi
# Bunga simpanan koperasi yang diterima atau diperoleh anggota dipotong Pajak penghasilan atau PPh
Pasal 23 final oleh koperasi sebesar 15% dari jumlah bunga yang diterima sepanjang jumlah bunga simpanan yang diterima atau diperoleh anggota lebih dari Rp 240.000,00 setiap bulannya.
# Dalam hal bunga simpanan yang diterima anggota tidak melebihi Rp 240.000,00 dalam sebulan, dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 (Lihat
2. Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi

* Sisa Hasil Usaha (SHU) adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya-biaya operasional dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
* SHU merupakan bagian laba yang diberikan kepada anggota atas simpanan pokoknya.
* Pemberian SHU tidak dijanjikan di awal, tetapi tergantung pada laba yang diperoleh koperasi.
* Berdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, SHU termasuk ke dalam pengertian dividen yang merupakan objek PPh sehingga harus dilaporkan dalam SPT Tahunnan penerima.
* Namun, pembagian SHU tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 23 oleh pihak lain (Lihat pasal 23 ayat (4) huruf f Undang-Undang nomor 17 Tahun 2000).
*

Kewajiban Koperasi sebagai Pemotong Pajak

1.


Memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya bunga dan memberikan bukti pemotongan kepada anggota yang menerima bunga simpanan koperasi.

2.


Menyetorkan secara kolektif PPh selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya (menggunakan SSP dimana kolom nama dan NPWP SSP diisi dengan nama dan NPWP koperasi).

3.


Melaporkan ke KPP terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya (menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26).


Penghasilan koperasi yang bukan objek pajak

1.


Bantuan atau sumbangan yang diterima oleh koperasi sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan (Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000).

2.


Harta hibahan yang diterima oleh koperasi sepanjang antara pemberi hibah dengan koperasi tersebut tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan syarat bahwa nilai aktiva (nilai kekayaan koperasi sebelum dikurangi dengan hutang) tidak termasuk tanah dan bangunan pada saat akan menerima hibah, tidak lebih dari Rp 600.000.000,00. Dividen atas bagian laba dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia (Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f



4.


Sisa hasil usaha yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

5.


Bunga simpanan yang tidak melebihi Rp 240.000,00 setiap bulannya (Lihat pasal 23 ayat (4) huruf g Jo

Makalah Uji Kompetensi Guru

Makalah Uji Kompetensi Guru

“Menteri Pendidikan Nasional mengatakan bahwa dalam upaya peningkatan mutu, kompetensi, jumlah dan kesejahteraan guru, dilakukan uki kompetensi dan sertifikasi guru yang terkareditasi. Setiap guru akan diberikan kesempatan sebanyak tiga kali uji kompetensi secara berturut-turut. Jika tidak lulus, maka guru tersebut tidak berhak mengajar khususnya untuk mata pelajaran pokok” (Republika, 10 Des 2004).

Guru adalah front liner kita dalam proses belajar mengajar. Karena guru lah yang berinteraksi langsung dengan siswa di dalam kelas. Gurulah yang memegang peranan yang sangat penting dalam membuat siswa mengerti dan paham mengenai mata pelajaran yang diajarkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan membutuhkan guru yang tidak hanya berfungsi sebagai pengajar yang mengajarkan mata pelajaran tertentu kepada peserta didiknya tetapi juga sebagai pendidik yang memberikan bekal pengetahuan kepada siswanya mengenai etika, kemampuan untuk survive dalam hidup, moral, empati, dan sebagainya.

Uji kompetensi guru yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana guru menjalankan perannya sebagai pengajar sekaligus pendidik adalah salah satu faktor penting yang perlu dilakukan. Namun hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah sejauh mana hasil uji komptensi ini akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses belajar mengajar di sekolah serta output yang dihasilkan, dalam hal ini peningkatan kualitas kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diajarkan. Apakah siswa yang menjadi subjek utama dalam pendidikan dapat merasakan langsung pengaruh dari hasil uji kompetensi tersebut atau tidak.

Jika uji kompetensi dilakukan untuk mengetahui kemampuan guru yang bersangkutan, maka saya kira hasil uji kompetensi tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan jika tidak diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang terjadi di dalam ruang kelas sebagai tempat terjadinya proses belajar mengajar. Terlebih lagi, kebanyakan evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi pada saat suatu proses belajar mengajar telah selesai. Misalnya, jumlah siswa yang lulus ujian, nilai kelulusan siswa, siswa yang berhasil lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa evaluasi tersebut adalah penting, namun dalam suatu proses belajar mengajar yang berlangsung terus menerus, adalah penting untuk melakukan evaluasi pada saat proses belajar mengajar masih berlangsung. Diharapkan melalui evaluasi tersebut, guru dapat menggunakan metode yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Siswa juga diharapkan dapat memberikan feedback positif kepada guru karena merekalah yang berinteraksi langsung dengan guru dan merasakan pengaruhnya terhadap kemampuan belajar mereka.

Mudah-mudahan niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas guru melalui uji kompetensi diikuti dengan pemantauan yang hati-hati dan terstruktur mengenai pengaruh dari hasil uji kompetensi ini terhadap proses belajar mengajar yang terjadi di lapangan, dalam rangka meningkatkan kualitas output dari proses pendidikan kita.

http://faridah-ohan.blogspot.com/2005/01/uji-kompetensi-guru.html
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_


Tugas Pendidik dalam Islam
Ditulis pada Juli 10, 2008 oleh apri76

Menurut Abuddin Nata, secara sederhana tugas pendidik adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Sedangkan tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Mendidik ternyata tidak semudah mengajar. [1] Dalam proses pembelajaran pendidik harus mampu mengilhami peserta didik melalui proses belajar mengajar yang dilakukan pendidik sehingga mampu memotivasi peserta didik mengemukakan gagasan-gagasan yang besar dari peserta didik.

Dalam konteks mengajar, pendidik mesti menyadari bahwa setiap mata pelajaran mestinya membawa dan mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Unsur pendidikan, dimaknai dapat membina dan menempa karakter pendidik agar berjiwa jujur, bekerja secara cermat dan sistematik. Sedangkan unsur pengajaran dimaknai untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik kepada setiap mata pelajaran yang diterimanya.

Secara khusus, bila dilihat tugas guru pendidikan agama (Islam) adalah di samping harus dapat memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama tersebut. Artinya tugas pokok guru agama menurut Abuddin Nata adalah menanamkan ideologi Islam yang sesunggunya pada jiwa anak.[2]

Pada uraian yang lebih jelas Abuddin Nata lebih merinci bahwa tugas pokok guru (pendidik) adalah mengajar dan mendidik. Mengajar disini mengacu kepada pemberian pengetahuan (transfer of knowledge) dan melatih keterampilan dalam melakukan sesuatu, sedangkan mendidik mengacu pada upaya membina kepribadian dan karakter si anak dengan nilai-nilai tertentu, sehingga nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya dalam bentuk perilaku dan pola hidup sebagai manusia yang berakhlak.

Apabila pendidik dilihat dalam konteks yang luas, maka tugas pendidik bukan hanya di sekolah (madrasah) tetapi dapat juga melaksanakan tugasnya di rumah tangga. Menurut Ahmad Tafsir,[3] tugas mendidik di rumah tangga dapat dilaksanakan dengan muda, karena Tuhan (Allah) telah menciptakan landasannya, yaitu adanya rasa cinta orang tua terhadap anaknya yang merupakan salah satu dari fitrahnya. Rasa cinta terlihat misalnya dalam Qur’an surat al-Kahfi ayat 46 dan surat al-Furqan ayat 74. Cinta kepada anak-anak telah diajarkan juga oleh Rasulullah kepada para sahabat. Seorang Baduwi datang kepada Muhammad saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.” Orang yang mulia itu berkata, “Apakah kamu tidak takut Allah akan mencabut kasih sayang dari hatimu? (H.R Bukhari).

Ramayulis, menguraikan tugas pendidik sebagai warasat al-anbiya (pewaris nabi), pada hakekatnya mengemban misi rahmat li al-‘alamin yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Untuk melaksanakan tugas demikian, pendidik harus bertitik tolak pada amar ma’ruf nahi mungkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi iman, islam dan ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, sosial dan moral.[4] Muh. Uzer Usman, menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berati meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.[5]

Pada bagian lain, Usman menyoroti tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat motivasi bagi siswanya dalam belajar.

Sedangkan tugas guru pada bagian lain adalah terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada bidang ini guru merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa.[6]

Muhaimin menjelaskan tugas pendidik (guru) sekaligus dengan karakteristiknya yang diawali menguraikannya dari istilah yang dipakai terhadap guru dalam literatur kependidikan Islam yakni ustadz, mu’alim, murabby, mursyid, nudarris, mu’addib. Ustadz, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang berkomitmen terhadap profesional, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement. Mu’allim, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliyah (implementasi). Murabby, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mursyid, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi dirinya atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. Mudarris, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Mu’addib, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.[7]

Berkaitan dengan tugas pendidik dalam bidang kemanusiaan ini, Muhammad Fadhil al-Jamili, menguraikan bahwa pendidik sebagai manusia dalam melaksanakan tugasnya harus menjauhi sifat materialistis, mempunyai tanggungjawab sosial, selalu membekali dengan keilmuan dan mengajarkannya kepada peserta didik, menempatkan peserta didik sebagai manusia yang patut dihormati.[8]

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) ialah mendidik. Mendidik sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan. Dalam pendidikan di sekolah, tugas guru (pendidik) sebagian besar adalah mendidik dengan cara mengajar. Tugas pendidik di dalam rumah tangga membiasakan, memberikan contoh yang baik, memberikan pujian, dorongan yang diperkirakan menghasilkan pengaruh positif bagi pendewasaan anak (peserta didik).[9]

Penelusuran Ahmad Tafsir dalam literatur Barat, tugas guru (pendidik) selain mengajar ialah berbagai macam tugas yang sesungguhnya bersangkutan dengan mengajar, yaitu tugas membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil belajar yang selalu bersangkutan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Tafsir, lebih jauh merinci tugas pendidik adalah (a) wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, (b) berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang, (c) memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan agar anak didik memilihnya dengan tepat, (d) mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik, (e) memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya. [10]

Ahmad Tafsir dalam uraiannya menyimpulkan bahwa tugas guru (pendidik) dalam Islam ialah mendidik muridnya (peserta didik) dengan cara mengajar dan dengan cara-cara lainnya, menuju tercapainya perkembangan maksimal sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kuranya harus memenuhi syarat-syarat: (1) tentang umur, harus sudah dewasa, (2) tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, (3) tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli, (4) harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi. Dalam konsep Islam, syarat untuk menjadi guru meliputi: (1) umur, harus sudah dewasa, (2) kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, (3) keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar), dan (4) harus berkepribadian muslim.[11]

Sementara itu, al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah (1) memandang murid seperti anaknya sendiri, (2) tidak mengharapkan upah atau pujian, tetapi mengharapkan keridhaan Allah dan berorientasi mendekatkan diri kepada-Nya, (3) memberi nasehat dan bimbingan kepada murid bahwa tujuan menuntut ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah, (4) Menegur murid yang bertingkah laku buruk dengan cara menyidir atau kasih sayang, (5) tidak fanatik terhadap bidang studi yang diasuhnya, (6) memperhatikan fase perkembangan berpikir murid, (7) memperhatikan murid yang lemah dengan memberinya pelajaran yang mudah dan jelas dan (8) mengamalkan ilmu.[12]

Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa tugas guru (pendidik) ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.[13] Abdurrahaman An-Nahlawi menjelaskan bahwa tugas pendidik ialah mengkaji dan mengajarkan ilmu Ilahi, sesuai dengan Firman Allah: Surat Ali Imran ayat 79:



Artinya: Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, al-Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah”. Akan tetapi (hendaknya dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S Ali Imran/3: 79)



An-Nahlawi memberikan pandangnya bahwa tugas pokok guru (pendidik) dalam Islam adalah: (1) tugas pensucian, guru (pendidik) hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkannya dari keburukkan dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya, (2) tugas pengajaran, guru (pendidik) hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.[14] Sejalan dengan ini, al-Ghazali, yang dikutip Samsul Nizar, menjelaskan pula bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-Nya.[15]

Berkaitan dengan pendidikan ilmiah ini, hal yang utama harus dikembangkan oleh pendidik adalah pengembangan akal peserta didik. Dengan melakukan hal demikian peserta didik dapat mengembangkan akalnya secara maksimal. Sehingga tokoh pendidik Padang, Abdullah Ahmad menjelaskan bahwa sesungguhnya akal merupakan nikmat Allah yang terbesar kepada manusia.[16] Manusia sebagai pendidik akan memberikan pemahaman pemikiran yang terintegral dalam proses pembelajaran, sehingga pendidik merasa bertanggungjawab untuk mengembangkan akal peserta didik sebagai konsekuensi pekerjaannya.[17]

Pada sisi yang berbeda, pendidik bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pembimbing, pelatih bahkan pencipta perilaku peserta didik.[18] Dalam tugasnya sehari-hari yang menjadi fokus utama pendidik mesti melingkupi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, karena ke depan tugas pendidik semakin kompleks, sehingga diharapkan pendidik untuk bekerja lebih keras dengan tekun dan loyalitas untuk menciptakan dan mengembangkan sumber daya manusia.

Pada batasan yang berbeda Samsul Nizar merinci tugas pendidik adalah pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan penilaian setelah program tersebut dilaksanakan, kedua, sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian sempurna (insan kamil), seiring dengan tujuan penciptaan-Nya, ketiga, sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri (baik diri sendiri, peserta didik maupun masyarakat), upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan.[19]

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[20]

Dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam, tugas pendidik menurut Malik Fadjar adalah menanamkan rasa dan amalan hidup beragama bagi peserta didiknya. Dalam hal ini yang dituntut adalah bagaimana setiap pendidik agama mampu membawa peserta didik untuk menjadikan agamanya sebagai landasan moral, etik dan spritual dalam kehidupan kesehariannya.[21]

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa tugas pendidik adalah melaksanakan proses pembelajaran yang terintegrasi dalam kegiatan mendidik, mengajar dan melatih sehingga terlaksananya empat pilar pendidikan yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), dan belajar hidup bermasyarakat (learning to live together).[22]

Agar pendidik dapat melaksanakan tugasnya, sebagai pendidik mesti mempunyai sifat profesionalisme. Abuddin Nata menjelaskan bahwa sifat profesionalisme itu dapat dilihat dari ciri-ciri: (a) mengandung unsur pengabdian, di mana pendidik mesti dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelayanan dapat berupa pelayanan individu, dan bersifat kolektif. (b) mengandung unsur idealisme, di mana bekerja sebagai pendidik bukan semata-mata mencari nafkah, tetapi mengajar merupakan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, meringankan beban penderitaan manusia. (c) mengandung unsur pengembangan, di sini maknanya adalah pendidik mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus menerus.[23]

Berkaitan dengan profesional ini, Muh. Uzer Usman menjelaskan bahwa guru (pendidik) profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru (pendidik) dengan kemampuan maksimal. Agar profesional dapat berjalan sesuai dengan aturanya, maka profesi mempunyai persyaratan khusus, yakni: (a) menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam, (b) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya, (c) menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai, (d) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya, dan (e) memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.[24]

Sikap profesional tidak bisa bertahan dengan sendirinya tanpa dilakukan pengembangan dan penambahan dari segi keilmuan. Agar pendidik selalu mempunyai sikap profesi secara kontiniu, maka harus menguasai hal-hal sebagai berikut: pertama, menguasai bidang keilmuan, pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan kepada peserta didiknya, kedua, harus memiliki kemampuan menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya secara efisien dan efektif, ketiga, harus memiliki kepribadian dan budi pekerti yang mulia yang dapat mendorong para siswa untuk mengamalkan ilmu yang diajarkannya.[25]

Di samping itu, sikap profesional pendidik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam sekolah/madrasah. Dalam hal ini, Ahmad Tafsir menjelaskan cara menerapkan sikap profesional di sekolah/madrasah, yakni: pertama, adanya profesional pada tingkat yayasan atau pemegang kekuasaan penyelenggara sekolah/madrasah, kedua, menerapkan profesional pada tingkat pimpinan sekolah, ketiga, menerapkan profesional pada tingkat tenaga pengajar, dan keempat, melaksanakan profesional tenaga tata usaha sekolah/madrasah.[26]

Ahmad Barizi, editor buku Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, menguraikan bahwa pendidik yang profesional tidak saja knowledge based, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan berdasarkan nilai-nilai etika dan moral.[27] Bahkan pendidik mesti melaksanakan konsep humanisme religius. Humanisme religius adalah pengembangan individu dalam rangka menerapkan dan meraih tanggungjawab (istikmal atau perfection), sehingga ucapan, cara bersikap dan tingkah laku guru ditunjukkan agar peserta didik bisa menjadi insan kamil yakni sempurna dalam kaca mata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama.[28]

Di samping pendidik memiliki sifat profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya, dalam era globalisasi sekarang yang serba kompleks, pendidik harus melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, diperlukan adanya kegiatan orientasi secara periodik antar pendidik, kedua, mengarahkan penataran dan penyetaraan yang sedang berlaku kepada pengembangan wawasan dan bukan semata pada hal-hal yang bersifat teknis, seperti hanya berkisar pada persoalan instruksionalnya tetapi lebih jauh dari itu adalah yang bersifat penalaran konsepsional, ketiga, ada baiknya buku paket untuk pendidik, karena keterbatan pendidik memiliki sumber belajar dan informasi.[29]

Pelaksanaan tugas pendidik di lapangan sebagai tenaga profesional akan menghadapi problema yang serius, sehingga dapat menghambat tugas-tugasnya sehari-hari. Agar tugas tugas tersebut dapat berjalan lancar, maka pendidik harus bersandar dan mempraktekkan kewajiban-kewajibannya sebagai berikut: pertama, menekuni pekerjaan seorang pendidik harus ikhlas dalam mengajarkan pelajaran kepada para pendidik dengan teliti dan yakin akan pemahaman yang ditangkap oleh mereka, serta mengikutsertakan ujian dari satu waktu ke waktu lain. juga tidak membiarkan sedikitpun waktu yang telah ditentukan untuk mengajar berlalu tanpa tanpa hasil bagi para pendidik, kedua, seorang guru harus mengambil contoh yang baik dari Rasulullah saw. sebagai orang yang pertama yang mengajarkan manusia tanpa mengharapkan balasan apapun secara keseluruhan, ketiga, seorang guru harus puas dengan gaji yang diberikan negara baginya dan harus berkeyakinan bahwa pahala yang besar hanya dari Allah, serta harus selalu mengingat sabda Rasulullah saw., keempat, seorang guru harus memperhatikan para pelajar dalam belajarnya seperti perhatiannya terhadap anak kandungnya sendiri, karena statusnya sebagai pengganti kedua orang tuanya.[30]

Pada bagian lain, pendidik harus memiliki krakteristik profesional, yakni; pertama, komitmen terhadap profesionalitas, kedua, menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapeta bagi diri, masyarakat dan lingkungannya, keempat, mampu menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan (centre of self-identification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya, kelima, mampu bertanggungjawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).[31]

Sedangkan M. Arifin menegaskan bahwa guru (pendidik) yang profesional adalah guru (pendidik) yang mampu mengejawantahkan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah di samping mampu menekuni profesinya selama hidupnya.[32]

Di samping pendidik memiliki sifat profesional, pendidik menurut an-Nahlawi harus memiliki sifat. Sifat pendidik tersebut adalah: pertama, harus memiliki sifat rabbani, kedua, hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniahnya dengan keikhlasan, ketiga, hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar, keempat, ketika menyampaikan ilmu kepada peserta didik, harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa apa yang ia ajarkan dalam kehidupan pribadinya, kelima, harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya, keenam, harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran, ketujuh, harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya, kedelapan, harus memahami psikologi peserta didik, kesembilan, harus peka terhadap fenomena kehidupan, kesepuluh, harus memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. [33]









[1] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 134. Pada bagian lain Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor, Kencana, 2003), h. 145-146 mendefenisikan mengajar dengan penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan proses belajar mengajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan instruksional (kompetensi dasar) yang ingin dicapai, materi yang akan diajarkan, pendidik dan peserta didik yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia. Di samping itu, menurut Al-Syaibany, dalam mengajar, pendidik harus mengetahui dasar-dasar umum metode mengajar. Paling tidak menurut Al-Syaibani dasar umum itu adalah dasar agama dan dasar bio-psikologis. Lihat Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 586-591

[2] Abuddin Nata, Paradigma …..op.cit., h. 135. Menanamkan ideologi Islam ini, Abuddin Nata, mengutip pendapat Muhammad S.A. Ibrahimmy, — sarjana pendidikan Islam Bangladesh — , dimana menurut Ibrahimmy, pendidikan Islam dalam pengertian sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang menginginkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga ia dengan mudah dapat membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam harus mengalami perubahan menurut tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ruang lingkup pendidikan Islam itu juga makin luas.



[3] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.ke-5, h. 135-136

[4] Ramayulis, op.cit., h. 88. Dalam uraiannya tentang tugas pendidik, Ramayulis menyamakan antara tugas pendidik dengan peranan pendidik. Dalam kaitan ini penulis cenderung membedakan antara tugas pendidik dengan peranan pendidik



[5] Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7. Lihat juga, Muhaimin, Pengembangan… op.cit., (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 50. Dalam uraiannya Muhaimin menjelaskan bahwa tugas mendidik, mengajar dan melatih dalam konteks pendidikan nasional. Dalam konteks pendidikan Islam, karakteristik ustadz selalu tercermin dalam segala aktifitasnya sebagai murabby, mu’allim, mursyid, mudarris, dan mu’addib. Pernyataan yang sama dikemukan oleh Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, h. 37. Dalam uraiannya, Djamarah menjelaskan tugas guru (pendidik) sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan meltih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas guru, karena guru harus terlibat dengan khidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Guru harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan orang tua kandung/wali anak didik dalam jangka waktu tertentu. Di bidang kemasyarakatan guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral Pancasila.

[6] Ibid. Lihat juga Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor, Kencana, 2003), h. 142-143. Dalam uraiannya Nata menjelaskan ciri-ciri profesionalisme pendidik adalah: pertama, harus menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik. Kedua, harus memiliki kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu yang dimilikinya (transfer of knowledge) kepada murid-muridnya dengan efektif dan efisien . Ketiga, harus berpegang teguh kepada kode etik profesional yakni memiliki akhlak yang mulia.



[7] Muhaimin, Pengembangan…. op.cit., h. 49-50.



[8] Muhammad Fadhil al-Jamili, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an, (t.tp: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.th), h. 13-17



[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan….., op.cit., h. 78-79



[10] Ibid., h. 79. Uraian tentang rincian tugas guru, Ahmad Tafsir mengutip pendapat Ag. Soejono dalam bukunya Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, (Bandung: Cv Ilmu, 1982), h. 62.



[11]Ibid., h. 80-81



[12] Al-Ghazali, op.cit., h. 212-223, lihat juga Hery Noer Aly, op.cit., h. 96-99



[13] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut: Darul Salam, 1994) cet.III, terjemahan Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 301



[14] Abdurrahaman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Bairut, Libanon: Dar al-Fikr al-Mu’asyir, 1983) edisi Indonesia terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 170. Hal yang sama juga dikutip oleh Hery Noer Aly, op.cit. h. 95-96



[15] Samsul Nizar, op.cit., h. 44



[16] Lihat Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr. H. Abdullah Ahmad, (Padang: Syamsa Offset, 1999), h. 35. Dalam penggunaan akal ini, Abdullah Ahmad — menurut penelitian Amirsyahruddin — terpengaruh dari surat ar-Rum ayat 8 dan surat al-Isra’ ayat 36



[17]Khalil Abu al-‘Ainin, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, (t.tp: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980), h. 167



[18]Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 188-189



[19]Samsul Nizar, loc.cit

.

[20] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 20



[21] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999), h. 42-44)

[22] Rumusan empat pilar pendidikan dapat dilihat dalam Jacques Delors, et.al., Learning The Treasure Within, (France: Unesco Publishing, 1996), h. 86-97. Lihat juga Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, editor, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. liii



[23] Abuddin Nata, Paradigma ….. op.cit., h. 136-138



[24] Muh. Uzer Usman, op.cit., h. 14-15



[25] Abuddin Nata, op.cit., h. 139-140



[26] Ahmad Tafsir, op.cit., h. 116-119



[27] Ahmad Barizi, op.cit., h. 190

[28] Abdurrahaman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta; Gama Media, 2002), h. 196-197



[29] Ahmad Barizi, op.cit., 193-194



[30] Syaikh Hasan Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo: Al Ahram, 1997), Edisi Indonesia terj. Abu Fahmi Huaidi¸ Metode Islam dalam Mendidik Remaja, (Jakarta: Mustaqiim, 2002), h. 145-148



[31] Muhaimin, Wacana… op.cit., h. 216-217. Lihat juga Imam Tholkah dan Ahmad Barizi, op.cit., h. 34-35 dan h. 222-223, Berkaitan dengan profesionalisme ini, Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi menjelaskan profesionalisme pendidik dikaitkan dalam segi akuntabilitas publik, konteks pembelajaran dan pendekatan pembelajaran. Profesional dalam segi akuntabilitas publik maknanya adalah pendidik mesti kapabilitas personal, pendidik sebagai inovator dan sebagai developer. Profesional dalam segi konteks pembelajaran maknanya pendidik yang profesional dalam bidang definisi, klasifikasi, metode dan teknik pembelajaran serta norma-norma dan batas minimal keberhasilan peserta didik. Profesional dalam segi pendekatan pembelajaran maknanya pendidik harus bisa membuat model pembelajaran dalam bentuk pendidik menyampaikan dan peserta didik menerima pelajaran, pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik, situasi interaktif antara pendidik dan peserta didik, anak didik dimotivasi untuk mencari, menemukan dan memecahkan masalah sendiri, pengelolaan kelas pembelajaran.



[32] H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 106



[33] Abdurrahman an-Nahlawi, op.cit., h. 170-176

http://apri76.wordpress.com/2008/07/10/tugas-pendidik-dalam-perspektif-pendidikan-islam/

_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?


dr. Fasli Jalal, Phd.
PENDAHULUAN

Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat.

Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN

Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.

Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan sosialisasi UUGD ini, patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu?

Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis. Karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 – 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yangb sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru. sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.
SERTIFIKASI PROFESI GURU

Undang-undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan politik bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut.

Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang:

* Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran.
* Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen.
* Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Pertama, kompetensi pedagogik. Adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

Ketiga, kompetensi sosial. Adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.

Keempat, kompetensi profesional. Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.

Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi.

Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi:

* Sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik, dan
* Berdiri sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya UUGD sudah berstatus pendidik.

Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan akan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:

* kualifikasi akademik;
* pendidikan dan pelatihan;
* pengalaman mengajar;
* perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
* penilaian dari atasan dan pengawas;
* prestasi akademik;
* karya pengembangan profesi;
* keikutsertaan dalam forum ilmiah;
* pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
* penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian portofolio dapat:

* melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus, atau
* mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.

Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik.

Apa yang harus dilakukan? Menyimak dari pengalaman pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara, maka akan muncul pertanyaan. "Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?" Dan apabila gagal, "mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru?" Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Kegagalan dalam mencapai tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan sertifikasi sebagai tujuan itu sendiri.

Bagi bangsa dan pemerintah Indonesia harus senantiasa mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan sampai sertifikasi menjadi tujuan. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
JAMINAN MUTU

Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru.

Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.

Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.

Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.

Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi.

Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
PEMBINAAN PASCA SERTIFIKASI

Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.

Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.

Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.

P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:

* menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
* mengembangkan model-model pembelajaran
* mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
* memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
* mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP

LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi guru utk menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata pelajaran dengan tugas:

* menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
* mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
* menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran dengan tugas:

* motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
* menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
* mengembangkan inovasi pembelajaran
* menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP

KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru.
PENUTUP

Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional: sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa.

Undang-Undang Guru dan Dosen telah hadir sebagai suatu kebijakan untuk mewujudkan guru profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi dan sertifikasi akan menentukan kualitas dan kompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara pemerintah menghadapi tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru.

Surabaya, 28 April 2007
Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS Unair, pada tanaggal 28 April 2007 di Surabaya

Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional

SUMBER:
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Draft Permendiknas tentang sertifikasi.

http://sertifikasiguru.org/index.php?page=home
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

Rekruitmen Guru Demi Masa Depan Bangsa

Oleh : Drs H Hamdaini BA MPd



Saat ini, kita masih menghadapi masalah kekurangan guru. Dalam arti, belum
dapat terpenuhi kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas
dirasakan oleh hampir seluruh daerah di Nusantara ini dari zaman ke aaman. Di
daerah terpencil, tidak jarang terjadi di satu sekolah hanya ada satu atau dua
guru. Jadi, satu sekolah hanya dikelola satu guru yang merangkap sebagai kepala
sekolah dan penjaga (paman) sekolah.

Secara kualitas, kita masih kekurangan guru yang betul-betul berkualitas tinggi
sesuai standar baik profesional, fungsional maupun kompetensional. Dilihat dari
latar belakang pendidikan saja, masih banyak guru kita yang berpendidikan
setingkat SMA. Mereka yang berpendidikan di atas SMA pun, kualitasnya masih
dirasakan kurang mantap, alias masih diragukan. Kualitas guru yang dirasakan
sangat kurang atau masih rendah ini, terutama bila dihubungkan dengan pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan tuntutan masyarakat.

Lihat saja kemampuan sebagian guru kita dalam menjabarkan kurikulum,
menggunakan metode dan media pembelajaran, dan sebagainya. Belum lagi berbicara
tentang rendahnya nilai hasil ujian akhir nasional (UAN) sebagian siswa.
Indikatornya, banyaknya siswa yang tidak lulus ujian, tidak dapat memasuki
jenjang pendidikan selanjutnya yang berkualitas. Belum lagi kemampuan lulusan
sekolah kita untuk memasuki dunia kerja, atau industri yang menggunakan
teknologi tinggi. Bagaimana pun problem pendidikan seperti ini tidak dapat
dilepaskan dari faktor guru --yang masih kurang berkualitas.

Dalam masa tiga tahun terakhir, standar latar belakang pendidikan guru TK dan
SD ditingkatkan menjadi minimal lulusan Diploma Dua (D-2), lulusan Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGTK/PGSD). Belum tuntas program peningkatan pendidikan
guru dan calon guru minimal D-2, lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun
2005 yang menetapkan standar pendidikan guru minimal D-4 untuk guru dan calon
guru TK sampai dengan SMA.

Baik konsep (program) maupun praktik (aplikasi), strategi peningkatan mutu
pendidikan guru di Nusantara ini mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi
zaman. Namun langkah yang diambil pemerintah terkesan terburu-buru dan
setengah-setengah.

Lihat saja tuntutan standar latar belakang pendidikan guru SD. Tataran yang
paling banyak itu adalah guru SD yang minimal D-4. Sementara posisi guru yang
ada masih belum banyak berlatar belakang pendidikan D-2. Dari sisi lain,
lembaga pendidikan tinggi bidang ilmu keguruan dan ilmu pendidikan untuk
menyiapkan tenaga guru masih terbatas. Terutama guru yang sesuai standar.
Anggaran proyek juga sangat terbatas, bahkan mustahil dapat menuntaskan supaya
seluruh guru memiliki latar belakang pendidikan D-2.

Program pengadaaan guru sekarang ini bertumpu pada lembaga yang menyiapkannya,
yaitu FKIP untuk guru pendidikan umum dan Fakultas Tarbiyah (Faktar) untuk guru
pendidikan agama. Bagaimana kondisi mesin penghasil tenaga guru tersebut
sekarang, mari kita analisis secara singkat.

Baik FKIP maupun Faktar Negeri memiliki daya tampung yang sangat terbatas. Dari
jumlah pendaftar, hanya antara 20 sampai 30 persen yang dapat diterima. FKIP
dan Faktar Negeri relatif memiliki tenaga dosen dan fasilitas yang memadai,
kendati belum dapat disebut memuaskan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Lembaga yang boleh disebut mesin pencetak tenaga guru negeri relatif mudah
dikontrol, dikendalikan dan dievaluasi. Bayangkan FKIP atau Faktar swasta.
Dengan tanpa bermaksud mengecilkan peran swasta dalam pengadaan tenaga guru,
tetapi dapat dimaklumi dengan segala keterbatasan di bidang tenaga dosen,
fasilitas dan anggaran.

Belakangan muncul lagi konsep (program) penetapan standar kompetensi guru, yang
tentu saja berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan mereka. Mengenai
konsep standar kompetensi guru ini paling tidak harus dilihat dari dua hal
pokok, yaitu tingkat dan jenis pendidikan yang sudah atau akan dimiliki guru.

Latar belakang tingkat pendidikan guru dan calon guru, seperti minimal D-4.
Artinya mereka yang memiliki latar belakang pendidikan di bawah D-4, bagaimana
pun disebut belum memiliki standar kompetensi guru.

Mengenai latar belakang jenis pendidikan guru dan calon guru, maksudnya mereka
harus memiliki latar belakang pendidikan bidang ilmu keguruan dan ilmu
pendidikan. Ini artinya, mereka yang memiliki latar belakang pendidikan
nonkeguruan atau nonkependidikan, bagaimana pun tidak dapat pula disebut
memiliki standar kompetensi guru.

Mulai 2006 ini, pemerintah mencanangkan pengangkatan calon guru secara
besar-besaran. Prosentasenya, lebih besar di antara CPNS lain yang seluruh
berjumlah sekitar 300.000 orang. Rencana itu patut disambut gembira. Kendati di
sisi lain kita perlu mengamati dengan cermat. Informasi itu patut disambut
gembira karena masalah kekurangan guru di sebagian besar daerah dapat
terpenuhi. Namun sebagaimana diketahui, guru yang pensiun, sakit, meninggal
setiap tahunnya tidak sedikit jumlahnya.

Berbicara tentang guru, mau tidak mau kita harus berbicara tentang profesi
(jabatan) guru, sebagai tenaga kerja, warga negara dan anggota masyarakat,
kehidupan keluarga, dan pribadi guru sendiri. Berbicara tentang profesi sebagai
guru, maka harus disadari oleh dirinya sendiri dan orang lain bahwa jabatan dan
tugas guru adalah berat tapi mulia.

Oleh karena itu, profesi guru harus didukung dengan latar belakang pendidikan,
pengetahuan, pengalaman yang cukup untuk menjadi seorang guru. Artinya seorang
guru memang harus berlatar belakang pendidikan ilmu keguruan dan ilmu
pendidikan. Jadi orang yang tidak mempunyai latar belakang seperti ini,
bagaimana pun tidak akan mampu dan tidak mempunyai kompetensi sebagai guru
dalam arti yang sesungguhnya. Karena guru adalah jabatan profesi, maka ia harus
berlatar belakang pendidikan ilmu keguruan dan ilmu pendidikan serta bekerja
sebagai guru, yaitu berkiprah di bidang pendidikan.

Dalam kaitan itu, mau tidak mau dan like or dislike, setiap guru wajib berperan
sebagai EMASLIM bagi siswanya dalam kegiatan pembelajaran. EMASLIM ialah
akronim dari Educator, Manager, Administrator, Supervisor, Leader, Inovator dan
Motivator. Semua peran itu harus menyatu dalam diri seorang guru yang
prefesional. Misalnya guru yang berperan sebagai pengajar, ia harus mampu
menjabarkan dan menyajikan materi pelajaran sesuai kurikulum dan garis besar
program pembelajaran yang ditentukan. Dalam perannya sebagai pengajar, guru
harus terampil menyusun program pengajar untuk kurun tertentu, membuat
persiapan kegiatan belajar mengajar (KBM), menyiapkan alat peraga atau media
pembelajaran, pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran, pengelolaan kelas dan
sebagainya.

Sebagai pendidik, tugas guru bukan saja mengajar. Tetapi lebih dari itu, yaitu
mengantarkan siswanya menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berbudi luhur
(berakhlak mulia) (Depdagri dan Depdiknas, 1996: 5). Sebagai tenaga kerja, guru
harus mendapatkan gaji atau upah yang memadai untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya. Di Indonesia sejak dahulu kala sampai sekarang, gaji guru negeri
relatif belum mencukupi kebutuhan keluarga. bahkan belum dapat disebut lumayan.
Sebagian besar guru kita tidak dapat kuliah atau menguliahkan anaknya.

Apalagi guru bantu, guru bakti atau guru honor. Guru bantu mendapat menghasilan
Rp450.000 per bulan, guru bakti lebih kecil dari angka itu. Guru honor tidak
sedikit yang berpenghasilan Rp75.000 per bulan. Bayangkan, penghasilan demikian
untuk biaya hidup dan kehidupan di tengah harga BBM yang naik dua kali lipat
disusul kenaikan harga barang dan jasa yang melambung.

Sebagai warga negara/anggota masyarakat, guru harus ikut berperan dan menjadi
pelopor aktif. Guru harus membayar pajak kendaraan, PBB, arisan, sumbangan
untuk masjid, langgar, madrasah, hari besar nasional/keagamaan dan sebagainya.
Dalam kehidupan keluarga dan pribadi, guru harus merupakan figur (sosok) yang
pantas menjadi panutan (teladan).

Dengan eksistensi guru kita seperti sekarang dengan berbagai problemanya, tidak
banyak yang dapat diharapkan untuk peningkatan mutu pendidikan secara nasional.
Karena itu, seperti bangsa yang maju, pemerintah Indonesia (pusat/daerah) harus
serius dan sepenuh hati untuk meningkatkan profesionalme dan kesejahteraan guru
secara total. Karena persoalan guru adalah persoalan pendidikan. Berbicara
tentang persoalan pendidikan, berarti kita berbicara tentang masa depan bangsa.

Jika pemerintah hanya setengah hati, maka nasib bangsa ini di masa depan akan
suram, buram dan kelam. Karena akan terjadi stagnasi (kemacetan) dan gap
(jurang pemisah) di antara anak bangsa untuk mendapatkan mutu pendidikan yang
baik. Maka, yang namanya pendidikan hanya dapat dinikmati segelintir orang yang
mampu (kaya/pejabat). Apabila terjadi keadaan seperti ini maka segala bentuk
kriminalitas, premanisme, brutalisme, sadisme dan sebagainya akan merajalela.
Karena sebagian besar anak bangsa yang bodoh dan miskin hari ini akan menjadi
dewasa esok tanpa pendidikan, tanpa ilmu, dan tanpa moral.

Adalah menjadi realitas sekarang bahwa maraknya pelaku kriminal, perampok,
pencuri, pelacur dan sebagainya, sebagian besar disebabkan ketiadaan
pendidikan, ilmu dan moral dalam diri mereka, di samping lemahnya hukum.

Di sini, peran guru sangat besar. Rekruitmen guru demi masa depan bangsa harus
dicermati serius dan sungguh-sungguh oleh pejabat, elit dan petinggi
pemerintahan di negeri ini. Sebab, tangan mereka berkaitan erat dengan
kebijakan yang sangat strategis dan anggaran yang sangat besar.

Memang peran masyarakat tidak bisa dianggap kecil, tetapi peran pemerintah yang
paling dominan. Karena itu wajar, apabila segenap lapisan masyarakat menggugat
pemerintah yang kurang peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan. Disadari
atau tidak, pemerintahan sekarang (pusat/daerah) diduga melakukan pelanggaran
UUD 1945 yang diamandemen. UUD 1945 antara lain mengamanatkan, anggaran belanja
(APBN/APBD) untuk pendidikan minimal 20 persen.

Begitulah rekruitmen guru yang berkualitas demi masa depan bangsa yang maju dan
modern. Mengenai kebijakan dalam rekruitmen guru, yang harus menjadi
pertimbangan adalah seleksi pengangkatan dan pembinaan profesi guru. Mulai 2006
ini, pemerintah harus konsisten dan konsekuen pada UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen yang ditetapkan 30 Desember 2005. Rekruitmen guru harus mengacu
sepenuhnya pada UU tersebut, agar tidak sampai terlambat.

Konsistensi dan konsekuensi itu harus dipegang teguh oleh pemerintah pusat dan
daerah, agar rekruitmen guru benar-benar dan sungguh-sungguh berorientasi pada
masa depan bangsa. Apabila pemerintah melaksanakan rekruitmen guru tidak
mengacu pada prinsip profesionalitas guru, maka masa depan bangsa ini semakin
suram dan gelap.

Karena itu, tidak ada alternatif lain kecuali harus mengacu pada prinsip
profesionalisme guru masa depan yaitu yang memiliki bakat, minat, panggilan
jiwa dan idealisme sebagai guru; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keilmuan, ketakwaan dan berkahlak mulia; memiliki kualifikasi
akademik dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya;
memiliki kompetensi, tanggung jawab profesional, memiliki jaminan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dan sebagainya. Hal ini
sesuai Pasal 7 ayat (1) UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Beginilah
harapan kita demi masa depan bangsa.

* Pengamat pendidikan, tinggal di Martapura

http://groups.yahoo.com/
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

MENELUSURI KARAKTERISTIK IDEALISME GURU

Oleh Muliadi Kurdi[1]

dosen honorer pada Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ustad pada Pesantren Modern Al-Manar Aceh Besar









Abstrak



Keberhasilan pendidikan tergantung pada banyak faktor, namun yang terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber daya pontensial guru yang sarat nilai moral dalam melakukan transpormasi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Dalam angkatan bersenjata faktor ini disebut dengan “the man behind the gun”. Orang-orang militer berpendapat bahwa bukan senjata yang memenangkan perang, tetapi serdadu yang memegang senjata itu. Serdadu tidak akan memenangkan suatu pertempuran apabila tidak menguasai strategi perang.





A. Pendahuluan

Guru dituntut memiliki kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subjek didik. Kualitas seorang guru itu dapat diukur dari moralitas, bijaksana, sabar dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subjek didik. Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-masalah sulit, tidak mudah frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, dan tidak destruktif.

Seorang guru mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Dia tidak hanya dituntut mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek keterampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengejewatahkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain).

Mahdi Ghulsyani dalam karyanya, “Filsafat Sains Menurut Al-Quran”, mengatakan bahwa guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketaqwaan dan pengetahuan. Di samping itu, Mahdi Ghulsyani juga menyebutkan karakteristik guru, antara lain adalah memiliki moral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.[2]

Al-Quran sebagai landasan paradigma pemikiran pendidikan Islam, telah banyak mengungkapkan analisir kependidikan yang memerlukan perenungan mendalam, terutama bagi praktisi pendidikan. Pemikiran pendidikan yang berlandaskan kepada wahyu Tuhan menuntut terwujudnya suatu sistem pendidikan yang komprehensif, meliputi ketiga pendekatan dalam istilah ilmu pendidikan yaitu cognitive, affective dan psycomotoric. Ketiga pendekatan ini yang nantinya akan mampu melahirkan pribadi-pribadi pendidik yang akan berperan dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan mampu mengembangkan peserta didik ke arah pengamalan nilai-nilai Islam secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi realitas wahyu Tuhan.[3]

Karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai Al-Quran saat ini jauh sebagaimana diharapkan. Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive) dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan Al-Quran, yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal. Sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang dapat memadukan tiga aspek tersebut dengan cara mentransferkan pengetahuan serta mewariskan nilai-nilai bagi peserta didik dan generasi selanjutnya. Maka keharusan melahirkan kalangan yang dapat berperan sebagai medium (pendidik) dalam proses pentransferan ilmu, itu kemudian menjadi suatu keniscayaan.[4]

Dari kesenjangan ini, perlu adanya pengkajian kembali nilai-nilai pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Penjelasan ini diharapkan akan menjadi sebuah solusi dan menjadi sebuah bahan renungan bagi para pendidik, guru dan orang-orang yang concern terhadap kepembangunan pendidikan di Aceh kususnya dan di Indonesia umumnya.


B. Reaktulisasi Profil Seorang Guru Ideal



Ukuran ideal seorang guru sangat tergantung pada kemampuan dan pengalaman intelektulitasnya. Guru harus memiliki “skill labour” yaitu tenaga terdidik atau terlatih dengan kebiasaan-kebiasaan baik, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan subjek didik. Guru merupakan figur dalam penyuksesan pendidikan bagi anak didik. Tidak cukup hanya saja, bahkan guru dituntut harus memiliki akhlak yang baik seperti diajarkan oleh Rasulullah saw.

Muhammad ‘Abd al-Qadir Ahmad menuturkan bahwa Rasul sosok sang pendidik, para sahabat sebagai subjek didik kala itu menangkap teladan yang luhur pada dirinya, berakhlak baik, memiliki ilmu dan memiliki keutamaan dalam semua gerak-geriknya.

Jika seorang pendidik mempunyai karakter seperti di atas, akan disenangi oleh peserta didik, dengan sendirinya akan disenangi ilmu yang diajarkannya. Muhammad ‘Abd al-Qadir mengatakan, “Banyak siswa yang membenci suatu ilmu atau materi pelajaran karena watak guru yang keras, akhlak guru yang kasar dan cara mengajar guru yang sulit. Di pihak lain, banyak pula siswa yang menyukai dan tertarik untuk mempelajari suatu ilmu atau mata pelajaran, karena cara perlakuan yang baik, kelembutan dan keteladanannya yang indah.”[5]

Tugas ini merupakan suatu pekerjaan yang berat dan sulit dicapai oleh seseorang, apabila ia tidak mempunyai karakter pendidik. Seorang pendidik mempunyai sifat-sifat terpuji dan mampu menyesuaikan diri baik dengan peserta didik maupun dengan masyarakat. Sikap seperti inilah barangkali yang diketengahkan al-Quran dengan ungkapan Ulul al-Bab.[6]


C. Kesimpulan

Untuk memperoleh jawaban tentang ciri-ciri ideal seorang guru, paling tidak harus melakukan dua pendekatan, antara lain: pertama, pendekatan tidak disengaja. Pendekatan ini dilakukan dengan tidak disengaja oleh seorang pendidik, karena terjadi dalam interaksi keseharian, misalnya dalam proses belajar mengajar, maupun dalam pergaulan di luar kelas. Keberhasilan tipe keteladanan, seperti keilmuan, kepemimpinan, keikhlasan, penampilan (performance), tingkah laku, tutur kata dan sebagainya. Dalam kondisi ini, pengaruh keteladanan berjalan secara langsung tanpa disengaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang diharapkan menjadi teladan hendaknya memelihara tingkah lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggung jawab di hadapan Allah swt.

Kedua, pendekatan yang disengaja. Pendekatan ini dilakukan dengan cara penjelasan atau perintah agar diteladani. Seperti lazimnya seorang pendidik memerintah muridnya untuk membaca, mengerjakan tugas sekolah, tugas rumah atau seorang pendidik memberi penjelasan di papan tulis kemudian ditiru oleh murid-muridnya. Pendekatan ini dilakukan agar si anak terbiasa dan terlatih dalam kedisiplinan dan keuletan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Pendekatan ini adalah salah satu pendekatan yang paling sering dilakukan Nabi Muhammad saw., ketika bersama-sama dengan sahabatnya.

Para sahabat telah mempelajari berbagai urusan agama mereka dengan jalan mengikuti keteladanan yang diberikan Rasulullah saw., secara sengaja, seperti digambarkan dalam sebuah hadits, “Hendaklah kamu sekalian mengambil cara-cara ibadah seperti ibadahku.”





DAFTAR BACAAN

Abd Al-Rahman Al-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro, 1992.

Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992.

Ali Syari’ati. Membangun Masa depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, cet. 2. Bandung: Mizan, 1989.

AM. Saefuddin. Fenomena Kemasyarakatan, cet. 1. Yogyakarta: Dinamika, 1996.

Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, cet. 1. Jakarta: Logos, 1998.

Benjamin Spoek. Memberi Watak Anak. Jakarta: Gunung Jati, 1982.

Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan; Suatu analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995

Haya Binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul Falah, 1998.

Hilmy Bakar Almascaty. Membangun Sistem Pendidikan Kaum Muslimin. Jakarta: Azzahra, tt.

Kholilah Marhijanto. Menciptakan Keluarga Sakinah. Gersik: Bintang Pelajar, 1998.

M. Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1987.

M. M. Rachmat Kartakusuma. Serba Pandangan Tentang Peranan Cendikiawan, “PRISMA”, NO. 9, November 1976, tahun ke v.

Mahdi Ghulsyani. Filsafat Sains Menurut Al-Quran, ter. Agus Effendi. Bandung: MIzan, 1995.

Maudurrahman. The Amirican Jornal of Islamic Social Sciencies, vol. XI, No. 4. America: The Institute of Islamic Thought, 1994.

Muhammad ‘Abd al-Qadir Ahmad. Thuruq al-Tarbiyah al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishyyah, 1980.

Sayyed Ali Asyraf. New Horizon in Muslim Education. Chppenham: Anthony Rowe, 1985.

Soetjipto Wirosardjono. Cendikiawan Islam Indonesia Masa Kini, Pemikiran dan Peranannya, “Panji Masyarakat”, no. 630, 23 Rabi’ul Akhir- 2 Jumadil awal 1410 H, 21-30 desember 1989.





[1]Penulis adalah dosen honorer pada Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ustad pada Pesantren Modern Al-Manar Aceh Besar, tinggal di Lampreh LT, No. 53, Ingin Jaya, Aceh Besar.

[2]Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, ter. Agus Effendi, (Bandung: MIzan, 1995), hal. 100-105.

[3]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), hal. 122. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 74-75.

[4]Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim Education, (Chppenham: Anthony Rowe, 1985, hal. 18. Maudurrahman, The Amirican Jornal of Islamic Social Sciencies, vol. XI, No. 4, (America: The Institute of Islamic Thought, 1994), hal. 529-530.

[5]Muhammad ‘Abd al-Qadir Ahmad, Thuruq al-Tarbiyah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishyyah, 1980), hal. 54-59.

[6]Kata ulul albab dikonotasikan dengan cendikiawan Muslim, intelektual Muslim, ulama bahkan Ali Syariati menyebutkannya dengan orang yang “tercerahkan.”

http://www.acehinstitute.org/front_index.htm
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

Membangun Profesionalitas Guru
Ditulis pada 17 Mei 2008 oleh kuswoyo arief

Oleh Drs. Hasan Basri, MM
Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan


Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, kehadiran guru bagi peserta didik ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas tanpa membedakan siapa yang diterangi nya demikian pulan terhadap peserta didik. Tetapi, dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok profesional. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didik.

Dukungan berbagai pihak terhadap nasib para guru saat ini memang perlu disikapi secara positif. Pemerintah daerah misalnya, telah berupaya menyiapkan finansial tambahan untuk para guru, sekali pun dalam jumlah yang terbatas. Tetapi paling tidak, hal itu membuktikan, keberadaan guru mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah daerah. Sekarang, kembali kepada para guru itu sendiri, apakah mereka akan tetap berada dalam posisi tawar yang biasabiasa saja dengan mengandalkan finansial terbatas dari pemerintah daerah? Ataukah mereka akan meningkatkan posisi tawar diri dengan cara meningkatkan profesionalismenya? Tentu, untuk peningkatan ini, para guru perlu meningkatkan pengetahuan, menimba pendidikan lagi, rajin dan aktif dalam berbagai kegiatan seminar dan sebagainya.

Tak dapat dipungkiri, benturan finansial seringkali menjadi masalah ketika para guru ingin mengembangkan aspek pengetahuan mereka. Terlebih aspek pengembangan karir dengan cara menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, sebagai seorang yang harus lebih pintar dan lebih pandai dari anak didik nya, mau tak mau cara ini harus ditempuh para guru. Dengan kata lain, meningkatkan profesionalisme itu memang harus diiringi dengan sekolah lanjutan setelah memiliki gelar sarjana ke pendidikan.Ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan seminar kependidikan, diskusi dengan pakar-pakar ilmu pengetahuan dan lain sebagainya termasuk cara untuk mencerdaskan diri di samping menuntut ilmu secara formal Tentu saja, kearifan dan kebijaksanaan dalam proses memenej penghasilan sangat dibutuhkan dalam rangka mempersiapkan pendanaan untuk mendapatkan pendidikan kelanjutan. Tidak sedikit para doktor, profesor atau sarjana lanjutan lainnya yang memenj keuangan mereka demikian rupa, sehingga mampu menyelesaikan pendidikan hingga akhirnya benar-benar tampil sebagai seorang pendidik yang memiliki profesi yang dibanggakan.

Setelahnya, para guru akan lebih mempunyai peluang dan harapan untuk mendapatkan posisi tawar dalam berbagai aspek, yang akhirnya mendapatkan finansial yang lebih tinggi dari keberadaan mereka semula yang hanya mengandalkan kemampuan mengajar. Dukungan berbagai pihak memang memberikan peluang. Bila diperhatikan undang-undang, perhatian pemerintah yang memberikan dana finansial bagi para guru honor. Saat ini, berbagai peluang yang mengandalkan kemampuan untuk mendapatkan finansial tambahan sudah cukup banyak. Bagi mereka yang mampu menulis, media surat kabar, umumnya memberikan finansial bila tulisan mereka diterbitkan. Lembaga pendidikan kursus juga menunggu para pendidik yang ahli di bidangnya. Sehingga orang-orang yang profesional akan mengandalkan kemampuannya untuk mendapatkan finansial yang berdampak pada kesejahteraan hidup keluarganya.

Ingatlah, kemajuan zaman akan menggiring manusia yang profesional lebih memposisikan diri sesuai ilmu dan kemampuan mereka masing-masing. Jika tidak, semua orang akan tertinggal, terutama para guru. Anak didik dengan orang tuanya yang mapan akan memilih sekolah dengan tingkat kecerdasan guru yang mereka anggap profesional pula. Lembaga pendidikan akan melakukan hal yang sama, memilih para guru yang profesional, karena finansial yang mereka berikan sama dengan tingkat pengetahuan dan kinerja para guru yang bakal menjadikan siswa mereka cerdas, mampu berkompetisi dan bisa bersaing dengan siswa lainnya dalam dan luar negeri. Jika tidak dari sekarang membenahi diri ke arah yang profesional kapan lagi.

Hari Guru selalu diperingati setiap tanggal 25 November, tapi sadarkah kita, setiap tahun ribuan pengetahuan baru bermunculan yang memerlukan keseriusan para guru untuk membahasnya. Jika guru yang ada tidak mengembangkan diri dengan harapan lebih profesional, apakah mungkin guru mampu mentransfer ilmu pengetahuan yang baru? Cakap, cerdas dan memiliki posisi tawar adalah ciri guru masa depan, yang selalu mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan dan inovasi, yang selalu ingin maju dari peserta didik nya. Anak didik menjadi insinyur, selayaknya guru-guru mereka menjadi doktor atau profesor. Selamat Hari Guru, semoga mampu membangun semangat profesional yang bertujuan menjadikan anak bangsa yan g cerdas,kompetitif, berbudi luhur dan mampu berinovasi di masa datang.

http://kus1978.wordpress.com/2008/05/17/membangun-profesionalitas-guru/
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_


KOMITMEN KUNCI PROFESIONALITAS GURU Minggu, 25 November 2007 Hit: 6708

Menciptakan pendidikan berkualitas diperlukan keprofesionalitasan guru yang tinggi, dan untuk menciptakan guru yang profesional diperlukan adanya komitmen, rasa hormat dan kebanggaan dari para guru dan pengajar terhadap pekerjaannya yang menjadi pendorong untuk lebih baik dalam mengajar.
Demikian hal ini disampaikan Walikota Yogyakarta, H Herry Zudianto saat menjadi nara sumber pada sarasehan pada HUT PGRI ke 62 dan Hari Guru Nasional ke 14 di Aula SMKN 4 Yogyakarta, Sabtu (24/11).
“Kunci profesionalitas guru itu komitmen dan rasa hormat serta bangga akan pekerjaannya, dengan adanya komitmen orang akan terdorong untuk semakin profesional, orang akan punya kebanggaan akan profesinya sehingga dalam mengajarpun lebih baik” Kata Herry Zudianto.
Sarasehan yang bertema “Guru Profesional dan Sejahtera untuk Pendidikan yang berkualitas” ini dihadiri oleh seluruh guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Yogyakarta, menghadirkan pula nara sumber dari Pengurus PGRI DIY Drs Asmuni.
Dalam kesempatan ini pula Walikota juga mengajak PGRI untuk bersama pemerintah mewujudkan guru yang profesional, karena komitmen untuk meningkatkan keprofesionalitas guru juga menjadi tugas pemerintah, diharapkan dengan standar profesional guru yang tinggi akan mampu menjalankan proses belajar mengajar dengan baik, yang akan menghasilkan mutu anak didik yang tinggi.
Walikota juga meminta kepada PGRI bahwa Pendidikan harus mampu memberikan pembelajaran sikap responsibility, etika, nilai kejujuran, integritas dan kerja keras, tanggung jawab dan bisa menghormati. “Ini menjadi pertanyaan kita apakah hasil mutu pendidikan kita bisa membawa anak-anak didik menjadi anak didik yang jujur, beretika, mempunyai integritas, tanggung jawab atas apa yang pernah dilakukan, dan menghormati orang lain” Kata Herry Zudianto.
Sementara itu, Pengurus PGRI DIY, Drs Asmuni mengatakan bahwa figur guru yang profesional adalah guru yang Cukup, Cakap, dan Cakep Cukup artinya bahwa guru yang profesional memiliki bekal teoritik atau materi yang cukup mencakup aktualisasi dan tugas pokoknya meliputi kualifikasi akaedemik, pengalaman mengajar dan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Cakap mengandung arti bahwa kecakapan guru sangat dibutuhkan dalm rangka keberhasilan pendidikan sesuai dengan profesinya, terampil dalam mengerjakan tugas serta cekatan, cepat, tepat dalam menyelesaikan perkara maupun dalam memutuskannya. Sedangkan kriteria Cakep dapat diwujudkan melalui tata krama, sopan santun, dalam pergaulan hendaknya berpedoman pada kode etik maupun profesi guru. “Guru yang Cukup, Cakap, Cakep merupakan guru yang profesional, didalam melaksanakan tugasnya akan berkualitas, efektif dan efisien” tegas Drs Asmuni.

http://www.jogjakota.go.id/
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

Benarkah Uji Kompetensi Menjamin Kualitas Guru?

10-07-06

Y Suparsa A

Agar para guru TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, dan sekolah luar biasa dari SD hingga SMA memperoleh sertifikat pendidik, pemerintah akan mewajibkan para guru mengikuti uji kompetensi.

Dengan diperolehnya sertifikat pendidik, para guru—yang sudah memiliki kualifikasi akademik, yaitu berijazah S-1 atau memiliki Akta IV itu—dinyatakan sebagai guru profesional.

Sebagai penghargaannya pemerintah akan memberikan tunjangan profesi setara gaji pokok (Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen).

Dengan demikian, uji kompetensi ini memiliki peran yang sangat penting karena akan menjadi pintu masuk yang menentukan seseorang guru itu profesional atau tidak dengan segala implikasinya.

Berbicara mengenai uji kompetensi, penulis punya pengalaman diuji. Tahun 2003, penulis mengikuti proses uji kompetensi khusus untuk guru tingkat SMP/ MTs yang diselenggarakan pemerintah. Pelaksana dinas provinsi, dilaksanakannya di daerah. Dinas pendidikan kota meminta setiap sekolah mengirimkan semua guru yang mengajarkan mata pelajaran (ada sembilan mata pelajaran) Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam/IPA (terdiri atas Fisika dan Biologi), Ilmu Pengetahuan Sosial/IPS (terdiri atas Ekonomi, Geografi, dan Sejarah), dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) untuk diikutsertakan dalam uji kompetensi itu.

Apa tujuan uji kompetensi itu? Semua peserta tidak tahu untuk apa uji kompetensi itu dilaksanakan. Ada baiknya memang, uji kompetensi itu seolah menguji kemampuan para guru secara mendadak untuk mengetahui kondisi sesungguhnya. Namun, ada juga jeleknya, yaitu para guru menghadapi uji kompetensi asal- asalan, yang penting ikut serta, tidak mempersiapkan diri, dan tak terarah.

Namun, beberapa bulan kemudian, penulis dan delapan orang teman guru mata pelajaran yang berbeda mendapat surat panggilan dari Dinas Provinsi Jawa Barat untuk mengikuti pelatihan di tingkat provinsi. Surat panggilannya lengkap dengan daftar nama para guru, katanya dari pusat (Jakarta ), yang tidak boleh digantikan oleh siapa pun.

Tahulah dari situ. Bahwa uji kompetensi—dan ternyata uji kompetensi tersebut diselenggarakan pula di seluruh daerah kota dan kabupaten di seluruh Indonesia—bertujuan menjaring para guru untuk dijadikan Instruktur Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi (PTBK) Pola MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) di daerahnya dalam rangka mengefektifkan sosialisasi pelaksanaan Kurikulum 2004.

Keseriusan pemerintah

Ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian kita semua tentang uji kompetensi itu.

Pertama, ternyata para guru yang terjaring banyak di antaranya "wajah baru" di daerah masing-masing. Adapun guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola MGMP di daerah tidak terjaring.

Di satu sisi hasil ini cukup membanggakan secara pribadi karena ada anggapan guru yang terjaring berarti memiliki kemampuan merata baik dalam penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan, maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi.

Namun, di sisi lain timbul pertanyaan, benarkan mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?

Kedua. Ada beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam kelompok mata pelajaran Sejarah.

Timbul pertanyaan seberapa tinggikah kualitas instrumen uji kompetensi itu sehingga dapat diterobos oleh guru mata pelajaran lain?

Ketiga. Mungkin hal ini yang lebih parah. Ada pengakuan beberapa rekan yang terjaring. Sebenarnya mereka merasa tidak memiliki kemampuan dan menguasai materi uji kompetensi itu.

Bagaimana bisa terjaring? Ternyata, selain faktor keberuntungan, ditengarai pelaksanaan dan proses uji kompetensi itu banyak terjadi kecurangan. Kecurangan itu dalam bentuk kerja sama, saling menyontek, atau membuka buku sumber. Hal ini sangat mudah terjadi karena soal uji kompetensi yang diujikan berbentuk multiple choice dengan empat option.

Itulah kejanggalan-kejanggalan uji kompetensi penjaringan calon instruktur PTBK. Sekarang timbul pertanyaan, apakah uji kompetensi untuk proses sertifikasi juga akan seperti itu?

Tentu kita berharap pemerintah serius melaksanakannya. Tanpa keseriusan, mereka yang tak berkompeten, tak berkualitas, dan tak berhak tidak bakal memperolehnya sertifikat itu. Hal itu dengan mempertimbangkan dua alasan. Pertama, sekalipun wajib diikuti setiap guru, sertifikasi ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua, implikasi uji kompetensi dalam proses sertifikasi ini adalah meningkatnya pendapatan guru dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru.

Prinsip dan " kompetensi"

Oleh karena itu, uji kompetensi yang baik harus dilaksanakan berlandaskan nilai dan semangat kecermatan atau validitas, bijak, serta adil.

Cermat atau valid maksudnya instrumen uji kompetensi mampu menentukan guru yang memang benar-benar layak untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional. Dikatakan demikian karena memang yang bersangkutan cakap atau kompeten sebagai pendidik.

Dengan mempertimbangkan sasaran seperti itu, instrumen tes berupa pilihan ganda tak akan mampu menggali potensi guru sesungguhnya. Instrumen pilihan ganda hanya menggali sisi permukaan kognitif dangkal yaitu ingatan, pemahaman, dan penerapan. Sisi-sisi psikomotorik dan afeksinya? Padahal, "kompeten" dan "profesional" esensinya jelas berkutat dalam duo nan satu itu: kognitif dan afektif.

Secara konseptual, untuk menguji kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional, tidak cukup hanya dengan instrumen uji tulis semata.

Pemerintah perlu pula mengembangkan alat uji lain yang mampu menembus pengetahuan dan potensi guru dari sisi kepribadian, sosial, dan psikologinya.

Misalnya bentuk psikotes, angket, wawancara, pengamatan, bahkan dengan simulasi.

Prinsip bijak maksudnya, sekalipun para guru wajib mengikuti uji kompetensi, selayaknya pemerintah juga mempertimbangkan bahwa pemenuhan kesejahteraan hidup para guru merupakan sebuah keniscayaan yang wajib dilakukan.

Sebab, kelayakan untuk menjadi seorang guru profesional sebenarnya sudah dimiliki, yakni dengan mengantongi sertifikat kelulusan dari LPTK.

Dengan demikian, model uji kompetensi yang dikembangkan bukan hanya untuk menguji, melainkan sebagai bagian dari upaya pembinaan dan pengembangan sehingga para guru layak menyandang sertifikat guru profesional versi sertifikasi.

Prinsip berkeadilan terkait dengan siapa yang diprioritaskan untuk diikutsertakan dalam proses sertifikasi ini, mengingat pemerintah merencanakan menentukan pagu guru yang dapat mengikuti proses sertifikasi ini. Agar prosesnya berkeadilan, sebaiknya pemerintah merancang sistem yang transparan untuk mengatur orang yang diberi kesempatan ikut proses sertifikasi.

Hemat penulis, guru-guru yang terlebih dahulu diprioritaskan mengikuti proses sertifikasi ialah mereka yang masa kerjanya lama, kemudian diurut kacang hingga mencapai batas pagu untuk satu masa uji.

Prinsip berkeadilan juga berlaku dengan tidak membedakan status guru. Apakah guru PNS, guru swasta, guru honor, atau guru bantu.

Maka, sudah selayaknya pemerintah memberikan pelayanan yang sama dalam proses sertifikasi ini. Termasuk memberi kesempatan kepada para guru honorer, guru bantu, guru swasta yang kompeten untuk memiliki sertifikat pendidik itu.

Akan menjadi tidak adil jika sertifikasi hanya memberi kesempatan kepada guru-guru yang berstatus pegawai negeri sipil atau PNS saja.

Padahal, boleh jadi peran guru swasta, guru honorer, dan guru bantu jauh lebih besar dibandingkan dengan para PNS itu.

Y Suparsa A, Guru SMP Santa Maria Cirebon, Jawa Barat


_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_

ANALISIS FILOSOFIS PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.Pendahuluan

Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.

Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.

Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.

Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen tersebut.

Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.

B. Analisis Filosofis Pendidik

1. Pengertian Pendidik

Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).

Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib.

Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Term mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

2. Kedudukan Pendidik

a. Pendidik dalam al-Qur’an

Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11)

Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar/39: 9).

Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. Firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28).

Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan.

b. Pendidik dalam Hadis

Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi:
.....اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ.....
Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional

Dalam sejarah bangsa Indonesia, status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia. Bahkan sering dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa guru adaha ”digugu dan ditiru”. Di beberapa wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang berarti Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal sebutan Yang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun sebutan itu ditujukan kepada guru yang memiliki keunggulan, namun hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa guru berada pada posisi terhormat di mata masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasinal, pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.

Sementara dalam pendidikan formal, pendidik dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”

Kompetensi yang dimaksud dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan kompetensi itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) ”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.

Adanya konstitusi di atas menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting serta berkedudukan yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu bangsa.

Berkaitan dengan ini, maka dalam pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang sebagai abu al-ruh (orang tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di hadapan muridnya dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan mauizhah dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral. Atas dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang tua) sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang tuanya juga.

3. Tugas Pendidik

Mengenai tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke dalam dua tugas, yaitu tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi.

Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.

Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai muzakky.

Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’—memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151).

4. Karakteristik Pendidik

Perlu juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik pendidik.

a. Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.
b. Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya.
c. Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
d. Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya, lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan mempunyai harga diri.
e. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya.
f. Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
g. Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.

Sementara an-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
a. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
b. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha Allah dan menegakkan kebenaran.
c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
h. Mengetahui kondisi psikis peserta didik.
i. Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik.
j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.

Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Ibn Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin Ahmar, guru puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi,

"O Ahmar, Amirul Mu'minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya, dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia Sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemah-lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau dengan han itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran."

Wasiat di atas menjadi hal yang penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu pula dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya, penuh kesabaran dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak memiliki kompetensi di bidang yang ia ajarkan.

5. Persyaratan Pendidik

Dari penjelasan tugas dan karakteristik pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut:
Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:

1. Pendidik hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT.
2. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3. Pendidik hendaknya bersifat zuhud.
4. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
6. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dsb.
7. Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam.
8. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
9. Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb.
10. Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya.
11. Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu:
1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari’at.
2. Ketika keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya.
3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didik.
4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya.
6. Hendaknya pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras.
7. Hendaknya pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu.
8. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas.
9. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan jawaban pertanyaan.
10. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11. Pendidik hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata wallahu a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT.
12. Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya.

Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain:
1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara kemaslahatan umat.
2. Pendidik hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar.
3. Pendidik hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5. Pendidik hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat memahami pelajaran.
6. Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya.
7. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
8. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan kedudukan ataupun hartanya.
9. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia maupun di akhirat.

Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam.

C. Peserta Didik

1. Pengertian Peserta Didik

Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.
Kemudian, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.

2. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik

Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:
a. Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.
b. Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.
c. Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.
d. Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang.
e. Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya.
f. Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.
g. Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah.
h. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting.
i. Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang.
j. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.
k. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat.
l. Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu.

Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu:
1) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.
2) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.
3) Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.
4) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat.
5) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji.
6) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.
7) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut.
8) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.
9) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.

3. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik

Selain dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik paling tidak meliputi sepuluh hal.

a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).
b. Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
c. Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
d. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
f. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).
g. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.

Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.

D. Rekomendasi

Demikian pentingnya pendidik dan peserta didik, maka kedua komponen ini harus menjalankan tugas dan memahami perannya masing-masing sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pendidik, baik guru maupun dosen memang telah mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur-central (uswatun hasanah) bagi peserta didiknya.

Apalagi adanya pergerseran nilai yang semakin tajam di era globalisasi ini, prinsip pragmatisme dan materialisme selalu menjadi pertimbangan—terkadang menjadi pertimbangan utama—dalam setiap profesi, termasuk profesi guru. Berkualitas tidaknya suatu pembelajaran hanya diukur dengan seberapa besar materi yang ia dapatkan.
Oleh karena itu, prinsip keikhlasan dan keteladan seharunya lebih mendapat perhatian bagi guru dalam konteks kekinian. Sikap yang ikhlas bukan berarti tidak membutuhkan materi, tetapi materi bukanlah tujuan utama dan penentu akhir berhasil tidaknya suatu pendidikan. Begitu pula keteladanan, bukan hanya tugas guru yang berkenaan dengan bidang studi akhlak an sich, seperti bidang studi agama dan bidang studi kewarganegaraan; akan tetapi keteladanan harus menjadi kepribadian setiap guru--terlepas apa pun bidang studi yang dibimbingnya—terutama guru yang beragama Islam. Hendaknya, masing-masing guru tersebut telah memiliki kepribadian Islami, sebab keteladanan kepribadian ini sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pendidik dalam mempengaruhi pembentukan karakter (caracter bulding) peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam.

Hal ini tentu bisa mereka miliki, meskipun background pendidikan dari masiang-masing guru tersebut tidak berasal dari lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan Pergutuan Tinggi Agama, akan tetapi di lembaga pendidikan umum pun mereka sudah mendapat pendidikan agama melalaui bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Diperkuat lagi pendidikan keluarga dan masyarakat yang berkenaan dengan pendidikan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, meskipun kepribadian Islami menjadi tanggung jawab semua guru, akan tetapi guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap mendapat prioritas dan bekerja keras agar mampu mewarnai bidang studi lain di lembaga pendidikan umum. Hanya saja, kebersamaan visi dan misi dari lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pendidik yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam. Pentingnya memperkuat dan mempertegas peran guru dalam membentuk kepribadian peserta didik yang Islami juga tersirat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…".

Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkahlak mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam itu sendiri.
Demikian pula peserta didik, juga diharapkan tidak terjebak pada paham pragmatisme dan materialisme. Ada kecendrungan ketika peserta didik bersikap demikian, maka guru pun kurang dihormati. Guru hanya dianggap sebagai instrumen atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah alat, ia akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun tidak dihormati lagi.

Untuk itu, peserta didik juga harus memahami apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam. peserta didik yang dalam pandangan pendidiakn Islam sering disebut sebagai murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang menginginkan”. Artinya, seorang murid atau peserta didik harus menunjukkan sikap yang membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat sesaat ketika ada perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan Islam, seorang guru tidak hanya dihormati di saat belajar pada sekolah formal saja, sehingga disebut pula bahwa ”tidak ada mantan guru dalam pandangan pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti ini maka seorang peserta didik harus menunjukkan sikap kesungguhannya dalam belajar dibarengi dengan adab-nya kepada guru dengan harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi dirinya.

Selain itu, peserta didik juga harus menuntut ilmu didasari oleh motivasi awal, yaitu motivasi karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka selama dalam menuntut ilmu ia harus meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini pula yang pernah dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allah Ta’ala.

Jika pendidik dan peserta didik mampu melaksanakan tugas dengan memiliki karakteristik atau sifat-sifat seperti di atas dengan istiqamah, maka proses pembelajaran tidak hanya menyentuh aspek kognitif an sich, tetapi lebih dari itu berbagai potensi peserta didik dapat dikembangkan secara optimal dalam ridha Allah SWT. Agaknya inilah yang disebut denga keberkahan ilmu, tidak sekedar diketahui, tetapi mempengaruhi kepribadiannya sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Penutup

Dari uraian mengenai pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk mendidik intelektual peserta didik (transfer if knowladge), tetapi pendidik juga bertugas dalam mengembangkan kemampuan intelektual (transformation of knowladge) dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepribadian peserta didik (internalitation of values). Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya sekaligus menjadi uswatun hasanah bagi peserta didiknya.

Kedua, dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik bisa menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Sebab, peserta didik harus aktif dan dinamis dalam proses pembelajaran; bukan justru pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima tuangan ilmu dari guru begitu saja tanpa daya kritis.
Ketiga, peserta didik yang pada dasarnya menginginkan ilmu sangat membutuhkan seorang pendidik. Maka peserta didik harus menunjukkan sikap yang baik dan menghormati pendidiknya sehingga ilmu yang ia peroleh tidak sebatas pengetahuan intelektual an sich, tetapi yang terpenting adalah kemampuan mengiternalisasikan nilai-nilai pengetahuan dalam kepribadiannya serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

BIBLIOGRAFI
Al-Qur’an dan Tejemahnya

Al-Abrasyi, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Yakarta: Bulan Bintang, 1974

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Hawa, Said, al-Mustakhlash fi Tazkiyatu al-Anfus, Penj. Abdul Amin, dkk, Yakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, cet. ke-VI

Ibn Majah, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Yazid al-Qazwayani, Sunan Ibn Majah, Kairo: Dar al-Hadis, t.th., Juz I

Ilahi, Fadhl, Muhammad SAW Sang Guru yang Hebat; Sirah Nabi sebagai Guru Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih, Surabaya: Pustaka eLBA, 2006

al-Jumbulati, Ali, dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, Penj. H. M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Khaldun, Abdurrahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldūn; wa Hiya Muqaddimah al-Kitāb al-Musamma Kitāb al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006

an-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Penj. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1992
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

____________, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Jakarta: PT RagaGrafindo Persada, 2001

Nizar, Samsul dan al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005, edisi revisi
Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Penj. Salman Harun, Bandung: al-Ma’arif
Ramayulis, Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Padang, Diktat, 2007

¬¬¬____________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002



http://mhdkosim.blogspot.com/2008/12/analisis-filosofis-pendidik-dan-peserta.html
eXTReMe Tracker
eXTReMe Tracker