Operasi Keperawanan
Thursday, June 9, 2011
Pandangan Para Ulama Tentang Operasi pengembalian keperawanan wanita dalam istilah bahasa Arab adalah ritqu ghisyya al-bikarah. Secara harfiah, ritqu dapat diartikan menjadi “menempelkan atau merapatkan”.[95]
Sedangkan ghisyya al-bikarah berarti selaput clitoris atau selaput dara yaitu permukaan daging tipis dan lembut yang terletak pada kelamin wanita. Ia disebut juga dengan selaput keperawanan (udzrah). Perawan adalah “wanita yang belum dijima’ oleh laki-laki”.
Karena itu secara jumlah, kalimat ritqu ghisyya al-bikarah dapat diartikan menjadi “mengembalikan selaput dara atau selaput keperawanan yang telah sobek atau rusak karena sebab tertentu dengan cara dioperasi.
Selaput ini menjadi rusak total atau sebagian, disebabkan oleh peristiwa yang disengaja atau tidak, yang dilakukan manusia atau yang lainnya, karena selaput ini adalah kulit tipis yang halus. Menurut pengetahuan masyarakat secara umum, selaput dara ini menjadi tanda kalau seorang wanita masih perawan dan terjaga virginitasnya. Apabila selaput ini rusak sebelum menikah, maka hal ini dapat menyebabkan penolakan atau kemarahan dari suami yang akan menikahinya, keluarganya dan masyarakat.
Operasi mengembalikan keperawanan ini merupakan hal baru dan tidak ada satu nash pun yang pernah menyebutkannya, selain karena ulama klasik sendiri juga belum pernah menerangkan perkara ini apalagi sampai menetapkan hukumnya, karena hal seperti ini pada saat itu belum dikenal.
Oleh sebab itu, diperlukan kajian yang mendalam dan pemahaman lebih lanjut dari syari’at, kaidah-kaidah umum dan perbandingan antara maslahat dan mudharat. Dengan demikian, diharapkan akan dihasilkan validitas hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah dilakukan penelitian intensif melalui literatur-literatur fiqh, penulis menemukan bahwa ulama kontemporer berbeda pendapat dalam menyikapi masalah ini. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat Pertama:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak dilarang secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad al-Mukhtar Asy-Syanqithiy.[96]
Ia mengungkapkan dalil-dalil[97] sebagai berikut berikut:
Operasi seperti ini terkadang dapat menimbulkan percampuran nasab. Hal ini juga memungkinkan seorang wanita yang melakukan zina kemudian menikah kembali dengan lelaki lain setelah melakukan operasi, sehingga anak yang ada dalam kandungan dinasabkan kepada suaminya yang kedua. Perbuatan semacam ini adalah haram. Karena itu, segala sesuatu yang dapat mengarah kepada yang haram, hukumnya adalah haram sesuai dengan kaidah sad adz-dzari’ah.
Operasi seperti ini akan memudahkan atau membuka peluang para gadis remaja untuk melakukan perzinaan, karena obat untuk mencegah kehamilan akibat persetubuhan dapat ditemukan dengan mudah di toko-toko obat atau apotik-apotik terdekat. Hubungan intim baik sah maupun tidak sah pada hakekatnya dapat merusak selaput clitoris wanita, akan tetapi hal itu dapat dikembalikan melalui operasi. Operasi seperti ini hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, para dokter dilarang mempraktekkan operasi semacam ini.
Operasi ini dapat membuka jalan bagi para gadis dan keluarganya berbohong dengan maksud menyembunyikan penyebab hilangnya dan rusaknya keperawanan mereka. Sedangkan berbohong hukumnya haram dan apapun yang mengarah kepada hal yang haram hukumnya adalah haram.
Operasi dalam bentuk semacam ini akan membuka kebohongan, penipuan dan pemalsuan yang diharamkan oleh agama. Keharamannya merupakan kesepakatan ulama (ijma’).
Pendapat Kedua:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagai berikut:
Jika isteri atau wanita yang melakukan operasi ini mendapatkan izin dari suaminya, dan ia hadir bersamanya ketika operasi berlangsung.[98]
Jika selaput perawan telah rusak sejak lahir atau rusak karena perbuatan seseorang yang bukan perbuatan maksiat, seperti mengobati penyakit yang ada dalam selaput sehingga terjadi kerusakan, atau robek akibat penyiksaan, pemaksaan dan pemerkosaan.[99]
Jika kerusakan yang disebabkan perzinaan belum diketahui umum. Namun jika telah tersebar, baik karena keputusan mahkamah maupun orang itu sudah dikenal sebagai wanita pezina (WTS), maka ulama sepakat mengharamkan operasi tersebut. Karena yang demikian itu akan mengakibatkan banyak kemudharatan.[100]
Kelompok ini mengungkapkan dalil-dalil[101] sebagai berikut:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak merupakan salah satu cara untuk menyembunyikan aib wanita tersebut. Karena jika aib itu tersebar di kalangan masyarakat umum, maka wanita itu akan dipermainkan, dicemooh dan dikucilkan, sekalipun ia tidak melakukannya. Aib tersebut bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk semua keluarganya. Karena itu, menyembunyikan aib orang lain adalah disyariatkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba menyembunyikan aib saudaranya di dunia, melainkan Allah SWT akan menyembunyikan aibnya di akhirat”.[102] Nabi SAW berkata pada Hazzal, -dia adalah orang yang mengetahui peristiwa perzinaan yang dilakukan oleh Ma’iz-, “Jika engkau menyembunyikannya dengan pakaianmu, maka itu lebih baik untukmu”.[103]
Operasi ini akan melindungi keluarga dari kehancuran rumah tangga. Karena jika hal tersebut diketahui oleh suaminya, maka akan terjadi perselisihan yang berdampak pada hilangnya rasa percaya antara keduanya dan suami akan menuduh pasangannya telah melakukan serong. Karena itu, operasi ini boleh dilakukan jika dengan tujuan menghindari terjadinya kehancuran rumah tangga.
Hilangnya keperawanan seseorang wanita dapat menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya, meskipun ia belum tentu melakukannya, karena hilangnya keperawanan seseorang itu dapat terjadi karena bermacam-macam hal. Oleh karena itu, diperbolehkan operasi tersebut merupakan sarana (washilah) untuk menghindari prasangkan buruk tersebut. Allah SWT berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa”. (QS. Al-Hujarat:12)
Menurut ulama fiqh, tersebarnya informasi bahwa seseorang wanita telah hilang keperawanannya tidak langsung mengindikasikan bahwa wanita itu melakukan zina.[104] Hal tersebut bisa saja terjadi karena faktor-faktor lain. Karena itu, zina dapat ditetapkan dengan tiga hal: pengakuan, saksi, bukti hamil di luar nikah atau hamil setelah dicerai atau setelah ditinggal mati suaminya dan selesai masa iddahnya. Berdasarkan hal di atas, maka pendapat yang memperbolehkan operasi ini dilakukan merupakan upaya untuk menghindari wanita dari tuduhan melakukan zina.
Sebagian masyarakat langsung menvonis wanita yang rusak keperawanannya meskipun tanpa bukti yang jelas yang sebenarnya dari sisi agama ia tidak dihukum. Namun petaka ini berpotensi merusak kehidupan rumah tangganya atau mungkin dapat menyebabkan wanita tersebut hidup menjadi perawan tua, karena tidak ada seorang laki-laki pun yang mau meminangnya sehingga jiwanya akan terguncang. Maka melakukan operasi dalam kondisi ini adalah untuk melindunginya dari tuduhan-tuduhan masyarakat yang tidak berdasarkan syari’at.
Upaya pengobatan guna mengembalikan keperawanan wanita yang melakukan zina dan perbuatannya belum tersebar diharapkan dapat menyembunyikan aib mereka serta memotivasi mereka untuk bertaubat dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya, dan Allah akan mengampuni dosanya. Namun jika ia tetap melakukannya tanpa pernah merasa berdosa di hadapan Allah, maka semuanya kita serahkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu menyembunyikan aib orang lain agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap orang lain. Dalam sebuah pepatah dikatakan “kemaksiatan jika disembunyikan tidak akan membahayakan kecuali bagi pelakunya sendiri, namun apabila tersebar dan tidak seorang pun membantahnya, maka akan membahayakan masyarakat secara umum”.[105] Oleh karena itu, setiap muslim diharapkan menutup kesalahan serta tidak membawanya ke pengadilan apabila ia tidak dapat dibuktikan secara syar’i, agar ia tidak tercium oleh masyarakat sehingga akan membuat mereka langsung bereaksi. Demikian itu akan menjadi musibah besar bagi masyarakat. Melakukan operasi dengan tujuan melindungi pelakunya dari sanksi sosial memiliki relevensi dengan agama.
Dalil Pendapat Pertama
“Operasi pengembalian keperawanan yang rusak dapat menimbulkan percampuran nasab” tidak dapat diterima. Hal ini karena kemungkinan apakah wanita tersebut hamil atau tidak hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan air seni atau darah yang dilakukan oleh dokter.
“Melakukan operasi keperawanan dapat membuat wanita berani melakukan zina” adalah pendapat keliru. Alasannya, wanita yang keperawanannya rusak terkadang adalah wanita shalihah yang taat kepada Allah SWT. Melarang mereka untuk melakukan operasi akan membuat diri mereka merasa terzalimi. Selain itu, mereka juga merasa bahwa kehormatan mereka dalam masyarakat telah hilang. Hal itu besar kemungkinan dapat menyebabkan mereka masuk ke dalam lembah perzinaan. Kondisi ini akan membuat mereka merasa takut untuk menikah karena khawatir kondisinya akan diketahui oleh laki-laki yang akan menikahinya sehingga akhirnya ia lebih memilih untuk melakukan hubungan seks di luar nikah daripada harus menikah. Jadi, mengizinkan mereka untuk melakukan operasi adalah diperbolehkan.
“Operasi keperawanan merupakan tindakan penipuan dan pemalsuan” adalah pendapat yang tidak dapat diterima. Karena tindakan pemalsuan dan penipuan terjadi apabila hal yang disembunyikan itu dapat membahayakan atau merugikan pelakunya jika diketahui cacatnya. Sedangkan operasi semacam ini tidak akan merugikan siapa pun yang akan menikahinya. Operasi seperti ini sama seperti operasi mengembalikan pendengaran atau penglihatan yang telah hilang. Jadi, perbuatan seperti ini tidak mengandung unsur penipuan atau pemalsuan.
Dalil Pendapat Kedua
“Menghalalkan operasi seperti ini merupakan upaya preventif yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat yang menghadapi problema seperti ini” adalah pendapat yang keliru. Tradisi sebagian masyarakat tidak dapat dijadikan landasan hukum, karena ada beberapa masyarakat yang tidak menganut sistem ini. Oleh karena itu, hukum harus dibangun atas landasan universal. Komentar penulis: Melakukan sad adz-dzari’ah (tindakan preventif) dalam semua kondisi tidak selalu disyaratkan pada sarana yang dapat mengantarkan kepada perbuatan haram saja, karena ia boleh dicegah dalam kondisi hukum tertentu, seperti keharaman menjual anggur bagi yang berniat menjadikannya sebagai khamar sekalipun tidak semua pembelinya menggunakannya untuk hal tersebut.
Memperbolehkan operasi semacam itu bagi pelaku zina yang belum diketahui oleh masyarakat umum dan belum diajukan ke pengadilan adalah berbahaya. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa syariat menganjurkan kita untuk menyembunyikan aib (maksiat) seperti dalam hadis Maiz di atas adalah benar. Namun pada zaman sekarang ini, menyembunyikan aib yang menjadi rahasia umum dala masyarakat seperti perbuatan zina serta melakukan operasi mengembalikan keperawanan tidak akan dapat menghambat derasnya perzinaan dan membuat pelakunya bertobat. Karena itu, membiarkan wanita tersebut tetap dalam kondisinya dan melarang untuk melakukan operasi agar ia berani menanggung resiko perbuatan yang telah ia lakukan, mau menyadari kesalahan serta dapat menjadi contoh bagi wanita-wanita lain, merupakan pendapat yang lebih tepat.
Pendapat Paling Kuat
Setelah melalui perdebatan panjang di kalangan para ulama kontemporer dengan berbagai macam argumentasi mengenai hukum melakukan operasi mengembalikan keperawanan, maka penulis lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa melakukan operasi pengembalian keperawanan wanita boleh dilakukan dengan syarat antara lain: virginitas wanita itu hilang dalam peristiwa tertentu atau disebabkan oleh perbuatan yang bukan maksiat, seperti jatuh, tertabrak, teraniaya, atau diperkosa. Menurut penulis, pendapat ini memiliki dalil-dalil yang lebih kuat dan masuk akal.
Adapun melakukan operasi bagi wanita yang keperawanannya rusak karena zina, baik yang sudah diketahui umum maupun yang telah diajukan ke pengadilan, adalah dilarang. Hal itu dikhawatirkan akan berdampak pada wanita-wanita lain yang kondisinya sama, sehingga dengan mudah mereka dapat melakukan perbuatan zina kembali.
***
[95] abu al-Husain al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ditahkik oleh Muhammad Sayyid Kailani: al-Babi al-Halabi 1961 H, hal. 187
[96] Muhammad Asy-Syanqithi, Ahkam al-Jirahah ath-Thibbiyyah wa al-Atsar al-Mutarattibah ‘Alaiha, Jeddah: Maktabah ash-Shahabah 1415 H/1994 M, hal. 407
[97] Muhammad asy-Syanqithi, Ahkam al-Jirahah ath-Thibbiyyah wa al-Atsar al-Mutarattibah ‘Alaiha, hal. 407
[98] Hal yang sama juga dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mukhtar al-Salami, pada muktamar yang diadakan oleh Organisasi Ilmu Kedokteran Islam dengan tema: at-Thabib baina al-I’lan wa al-Kitman, Kuwait: 1987, hal. 81
[99] Hal yang sama pula dikatakan Taufif al-Wa’i dalam muktamar dengan tema Hukmu Ifsya as-Sirri fi al-Islam, Kuwait: 1987, hal. 81
[100] Na’im Yasin, Abhas Fiqhiyyah fi Qadhaya Thibbiyyah al-Mu’ashirah, Urdun: Dar an-Nafais 1421 H/2000 M, Cet.3, hal. 245-246
[101] Na’im Yasin, Abhas Fiqhiyyah fi Qadhaya Thibbiyyah al-Mu’ashirah, hal. 246. Muhammad Mukhtar Al-Salami, at-Thabib baina al-I’lan wa al-Kitman, hal. 81
[102] Muslim, Shahih Muslim, Bab Bisyarah man Satara Allah ‘alaihi fi as-Dunya. No. 72/537. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah t.th. Imam Nawawi, Syarh an-Nawawi, No. 16/143. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah t.th.
[103] Abu Daud, Sunan Abu Daud, bab al-Hudud, pasal “Fi as-Satri ‘ala al-Hudud”. No. 4377, Beirut: Dar al-Jil 1407 H/1988 M, Jilid IV, hal. 131. Hakim berpendapat bahwa derajat hadis ini adalah Shahih al-Isnad, Zakiyuddin al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, Kairo: Dar al-Babi al-Halabi t.th, Jilid IV, hal. 285
[104] Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syari’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah t.th, Jilid X, hal. 47. Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukkam, Kairo: Maktabah al-Kuliyyat al-Azhariyyah 1407 H/1996 M, Jilid II, hal. 259. Ibnu Qudamah, al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah t.th, Jilid X, hal. 165. Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, Beirut: Muassasah ar-Risalah 1413 H/1993 M, Cet.2, Jilid II, hal. 395
[105] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Mesir: Maktabah Fayadh al-Mansyurah t.th, Jilid II, hal. 308
sumber http://ruslihasbi.wordpress.com/hikmah/fiqh-inovatif/operasi-pengembalian-keperawanan-wanita/