Gonjang-ganjing permohonan euthanasia yang sempat melanda kita, sesungguhnya merupakan refleksi kegagalan negara dalam menyediakan sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat. Itu dapat dicermati, setidaknya dari dua kasus permohonan euthanasia terakhir. Secara implisit dapat ditangkap, bukan kehendak menyingkat hidup isterinya yang sungguh-sungguh diharap Hasan Kesuma (10/2004) maupun Rudi Hartono (02/2005). Keduanya sebenarnya sedang bermanuver untuk mengetuk hati pemerintah dan membuka mata kita akan carut marut sistem kesehatan negeri ini. Lantas bagaimana status hukum euthanasia an sich menurut sudut pandang fikih? Untuk menjawab itu, Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal berbincang-bincang dengan KH. Masdar Farid Mas’udi, salah seorang ketua PBNU, sekaligus direktur P3M, Kamis, 24 Februari kamarin.
NOVRIANTONI: Pak Masdar, ada dua kasus permohonan euthanasia yang cukup mengguncang kita dalam beberapa bulan terakhir. Pertama kasus pasangan Hasan Kesuma-Isna Nauli (10/2004), dan kedua Rudi Hartono-Siti Zulaekha (02/2005). Menurut Anda, ini menunjukkan gejala apa?
MASDAR FARID MAS‘UDI: Menurut cerita yang saya dengar dari Anda, beberapa kasus permintaan euthanasia itu diduga berawal dari kasus malparktik kedokteran. Ini memang dua hal yang berbeda dan dua perkara yang berdiri sendiri, sekalipun masih ada hubungannya. Kita sekarang fokus soal euthanasia, yaitu usaha untuk menghentikan hidup seseorang dengan alasan-alasan tertentu. Dari sudut pandang agama sudah sangat jelas bahwa soal kehidupan memang sangat dihormati, bahkan dianggap sakral. Makanya, tidak seorang pun berhak menghabisi jatah hidup seseorang, atau membuat orang lain, bahkan dirinya sendiri, teresiko kematian.
NOVRIANTONI: Jadi jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, ya?
MASDAR: Ya, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.
NOVRIANTONI: Pak Masdar sudah mengambarkan pandangan normatif-keagamaan. Tapi kenyataan sosial yang dihadapi mereka yang mohon euthanasia itu jauh lebih kompleks. Misalnya, ada soal keputusasaan atas sistem kesehatan, ketidakmampuan menopang biaya pengobatan, dan lain-lain. Tanggapan Anda?
MASDAR: Sebenarnya memang ada kecarut-marutan dan ketidakadilan di situ, misalnya soal malpraktik. Sebagian kasus malpraktik memang benar-benar terjadi, tapi tidak diketahui oleh publik yang luas. Sejauh ini, belum ada penyelesaian yang terasa adil atau memenuhi rasa keadilan para korban. Beberapa kasus malpraktik yang terjadi selalu berakhir dengan kekalahan di pihak pasien. Dokter yang diduga bersalah lagi-lagi bisa selamat dari tanggung jawab. Padahal, dugaan (malpraktik) itu saya kira memang terjadi, karena siapa lagi yang melakukan kalau bukan dokter. Ketidakadilan ini mungkin terjadi karena pihak yang memutuskan siapa yang bersalah juga sesama dokter. Artinya, ada aspek subjektivitas dalam proses pengambilan keputusan. Bagaimanapun juga, dokter-dokter itu tetaplah manusia yang punya feeling corps-group atau rasa sebagai satu kelompok. Ini juga persoalan yang harus kita pecahkan, supaya kita tidak terlalu lama membiarkan proses menghakimi diri sendiri. Ketidakadilan misalnya juga terjadi pada kasus pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian. Polisi yang melakukan pelanggaran, justru dihakimi kalangan internal mereka juga. Akibatnya, keputusan hakimnya juga tidak memberikan rasa keadilan publik.
NOVRIANTONI: Pak Masdar, kita tahu permasalahannya sangat kompleks. Ketika akan menetapkan hukum agama, apakah kompleksitas pengalaman manusia itu juga masuk dalam pertimbangan?
MASDAR: Saya kira, pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berkelindan dengan hukum positif. Sebab, di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik dan moral yang juga bersifat publik. Misalnya soal perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dan hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodir. Makanya, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
NOVRIANTONI: Pak Masdar, persoalan euthanasia ini termasuk kategori soal-soal kontermporer yang belum jelas rumusan hukum fikihnya. Nah, bagaimana merumuskan hukum fikih untuk kasus-kasus seperti ini?
MASDAR: Memang kasus ini persoalan baru.