Makalah Uji Kompetensi Guru“Menteri Pendidikan Nasional mengatakan bahwa dalam upaya peningkatan mutu, kompetensi, jumlah dan kesejahteraan guru, dilakukan uki kompetensi dan sertifikasi guru yang terkareditasi. Setiap guru akan diberikan kesempatan sebanyak tiga kali uji kompetensi secara berturut-turut. Jika tidak lulus, maka guru tersebut tidak berhak mengajar khususnya untuk mata pelajaran pokok” (Republika, 10 Des 2004).
Guru adalah front liner kita dalam proses belajar mengajar. Karena guru lah yang berinteraksi langsung dengan siswa di dalam kelas. Gurulah yang memegang peranan yang sangat penting dalam membuat siswa mengerti dan paham mengenai mata pelajaran yang diajarkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan membutuhkan guru yang tidak hanya berfungsi sebagai pengajar yang mengajarkan mata pelajaran tertentu kepada peserta didiknya tetapi juga sebagai pendidik yang memberikan bekal pengetahuan kepada siswanya mengenai etika, kemampuan untuk survive dalam hidup, moral, empati, dan sebagainya.
Uji kompetensi guru yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana guru menjalankan perannya sebagai pengajar sekaligus pendidik adalah salah satu faktor penting yang perlu dilakukan. Namun hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah sejauh mana hasil uji komptensi ini akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses belajar mengajar di sekolah serta output yang dihasilkan, dalam hal ini peningkatan kualitas kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diajarkan. Apakah siswa yang menjadi subjek utama dalam pendidikan dapat merasakan langsung pengaruh dari hasil uji kompetensi tersebut atau tidak.
Jika uji kompetensi dilakukan untuk mengetahui kemampuan guru yang bersangkutan, maka saya kira hasil uji kompetensi tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan jika tidak diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang terjadi di dalam ruang kelas sebagai tempat terjadinya proses belajar mengajar. Terlebih lagi, kebanyakan evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi pada saat suatu proses belajar mengajar telah selesai. Misalnya, jumlah siswa yang lulus ujian, nilai kelulusan siswa, siswa yang berhasil lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa evaluasi tersebut adalah penting, namun dalam suatu proses belajar mengajar yang berlangsung terus menerus, adalah penting untuk melakukan evaluasi pada saat proses belajar mengajar masih berlangsung. Diharapkan melalui evaluasi tersebut, guru dapat menggunakan metode yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Siswa juga diharapkan dapat memberikan feedback positif kepada guru karena merekalah yang berinteraksi langsung dengan guru dan merasakan pengaruhnya terhadap kemampuan belajar mereka.
Mudah-mudahan niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas guru melalui uji kompetensi diikuti dengan pemantauan yang hati-hati dan terstruktur mengenai pengaruh dari hasil uji kompetensi ini terhadap proses belajar mengajar yang terjadi di lapangan, dalam rangka meningkatkan kualitas output dari proses pendidikan kita.
http://faridah-ohan.blogspot.com/2005/01/uji-kompetensi-guru.html
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_
Tugas Pendidik dalam Islam
Ditulis pada Juli 10, 2008 oleh apri76
Menurut Abuddin Nata, secara sederhana tugas pendidik adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Sedangkan tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Mendidik ternyata tidak semudah mengajar. [1] Dalam proses pembelajaran pendidik harus mampu mengilhami peserta didik melalui proses belajar mengajar yang dilakukan pendidik sehingga mampu memotivasi peserta didik mengemukakan gagasan-gagasan yang besar dari peserta didik.
Dalam konteks mengajar, pendidik mesti menyadari bahwa setiap mata pelajaran mestinya membawa dan mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Unsur pendidikan, dimaknai dapat membina dan menempa karakter pendidik agar berjiwa jujur, bekerja secara cermat dan sistematik. Sedangkan unsur pengajaran dimaknai untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik kepada setiap mata pelajaran yang diterimanya.
Secara khusus, bila dilihat tugas guru pendidikan agama (Islam) adalah di samping harus dapat memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama tersebut. Artinya tugas pokok guru agama menurut Abuddin Nata adalah menanamkan ideologi Islam yang sesunggunya pada jiwa anak.[2]
Pada uraian yang lebih jelas Abuddin Nata lebih merinci bahwa tugas pokok guru (pendidik) adalah mengajar dan mendidik. Mengajar disini mengacu kepada pemberian pengetahuan (transfer of knowledge) dan melatih keterampilan dalam melakukan sesuatu, sedangkan mendidik mengacu pada upaya membina kepribadian dan karakter si anak dengan nilai-nilai tertentu, sehingga nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya dalam bentuk perilaku dan pola hidup sebagai manusia yang berakhlak.
Apabila pendidik dilihat dalam konteks yang luas, maka tugas pendidik bukan hanya di sekolah (madrasah) tetapi dapat juga melaksanakan tugasnya di rumah tangga. Menurut Ahmad Tafsir,[3] tugas mendidik di rumah tangga dapat dilaksanakan dengan muda, karena Tuhan (Allah) telah menciptakan landasannya, yaitu adanya rasa cinta orang tua terhadap anaknya yang merupakan salah satu dari fitrahnya. Rasa cinta terlihat misalnya dalam Qur’an surat al-Kahfi ayat 46 dan surat al-Furqan ayat 74. Cinta kepada anak-anak telah diajarkan juga oleh Rasulullah kepada para sahabat. Seorang Baduwi datang kepada Muhammad saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.” Orang yang mulia itu berkata, “Apakah kamu tidak takut Allah akan mencabut kasih sayang dari hatimu? (H.R Bukhari).
Ramayulis, menguraikan tugas pendidik sebagai warasat al-anbiya (pewaris nabi), pada hakekatnya mengemban misi rahmat li al-‘alamin yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Untuk melaksanakan tugas demikian, pendidik harus bertitik tolak pada amar ma’ruf nahi mungkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi iman, islam dan ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, sosial dan moral.[4] Muh. Uzer Usman, menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berati meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.[5]
Pada bagian lain, Usman menyoroti tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat motivasi bagi siswanya dalam belajar.
Sedangkan tugas guru pada bagian lain adalah terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada bidang ini guru merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa.[6]
Muhaimin menjelaskan tugas pendidik (guru) sekaligus dengan karakteristiknya yang diawali menguraikannya dari istilah yang dipakai terhadap guru dalam literatur kependidikan Islam yakni ustadz, mu’alim, murabby, mursyid, nudarris, mu’addib. Ustadz, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang berkomitmen terhadap profesional, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement. Mu’allim, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliyah (implementasi). Murabby, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mursyid, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi dirinya atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. Mudarris, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Mu’addib, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.[7]
Berkaitan dengan tugas pendidik dalam bidang kemanusiaan ini, Muhammad Fadhil al-Jamili, menguraikan bahwa pendidik sebagai manusia dalam melaksanakan tugasnya harus menjauhi sifat materialistis, mempunyai tanggungjawab sosial, selalu membekali dengan keilmuan dan mengajarkannya kepada peserta didik, menempatkan peserta didik sebagai manusia yang patut dihormati.[8]
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) ialah mendidik. Mendidik sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan. Dalam pendidikan di sekolah, tugas guru (pendidik) sebagian besar adalah mendidik dengan cara mengajar. Tugas pendidik di dalam rumah tangga membiasakan, memberikan contoh yang baik, memberikan pujian, dorongan yang diperkirakan menghasilkan pengaruh positif bagi pendewasaan anak (peserta didik).[9]
Penelusuran Ahmad Tafsir dalam literatur Barat, tugas guru (pendidik) selain mengajar ialah berbagai macam tugas yang sesungguhnya bersangkutan dengan mengajar, yaitu tugas membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil belajar yang selalu bersangkutan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Tafsir, lebih jauh merinci tugas pendidik adalah (a) wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, (b) berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang, (c) memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan agar anak didik memilihnya dengan tepat, (d) mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik, (e) memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya. [10]
Ahmad Tafsir dalam uraiannya menyimpulkan bahwa tugas guru (pendidik) dalam Islam ialah mendidik muridnya (peserta didik) dengan cara mengajar dan dengan cara-cara lainnya, menuju tercapainya perkembangan maksimal sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kuranya harus memenuhi syarat-syarat: (1) tentang umur, harus sudah dewasa, (2) tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, (3) tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli, (4) harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi. Dalam konsep Islam, syarat untuk menjadi guru meliputi: (1) umur, harus sudah dewasa, (2) kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, (3) keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar), dan (4) harus berkepribadian muslim.[11]
Sementara itu, al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah (1) memandang murid seperti anaknya sendiri, (2) tidak mengharapkan upah atau pujian, tetapi mengharapkan keridhaan Allah dan berorientasi mendekatkan diri kepada-Nya, (3) memberi nasehat dan bimbingan kepada murid bahwa tujuan menuntut ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah, (4) Menegur murid yang bertingkah laku buruk dengan cara menyidir atau kasih sayang, (5) tidak fanatik terhadap bidang studi yang diasuhnya, (6) memperhatikan fase perkembangan berpikir murid, (7) memperhatikan murid yang lemah dengan memberinya pelajaran yang mudah dan jelas dan (8) mengamalkan ilmu.[12]
Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa tugas guru (pendidik) ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.[13] Abdurrahaman An-Nahlawi menjelaskan bahwa tugas pendidik ialah mengkaji dan mengajarkan ilmu Ilahi, sesuai dengan Firman Allah: Surat Ali Imran ayat 79:
Artinya: Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, al-Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah”. Akan tetapi (hendaknya dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S Ali Imran/3: 79)
An-Nahlawi memberikan pandangnya bahwa tugas pokok guru (pendidik) dalam Islam adalah: (1) tugas pensucian, guru (pendidik) hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkannya dari keburukkan dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya, (2) tugas pengajaran, guru (pendidik) hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.[14] Sejalan dengan ini, al-Ghazali, yang dikutip Samsul Nizar, menjelaskan pula bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-Nya.[15]
Berkaitan dengan pendidikan ilmiah ini, hal yang utama harus dikembangkan oleh pendidik adalah pengembangan akal peserta didik. Dengan melakukan hal demikian peserta didik dapat mengembangkan akalnya secara maksimal. Sehingga tokoh pendidik Padang, Abdullah Ahmad menjelaskan bahwa sesungguhnya akal merupakan nikmat Allah yang terbesar kepada manusia.[16] Manusia sebagai pendidik akan memberikan pemahaman pemikiran yang terintegral dalam proses pembelajaran, sehingga pendidik merasa bertanggungjawab untuk mengembangkan akal peserta didik sebagai konsekuensi pekerjaannya.[17]
Pada sisi yang berbeda, pendidik bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pembimbing, pelatih bahkan pencipta perilaku peserta didik.[18] Dalam tugasnya sehari-hari yang menjadi fokus utama pendidik mesti melingkupi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, karena ke depan tugas pendidik semakin kompleks, sehingga diharapkan pendidik untuk bekerja lebih keras dengan tekun dan loyalitas untuk menciptakan dan mengembangkan sumber daya manusia.
Pada batasan yang berbeda Samsul Nizar merinci tugas pendidik adalah pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan penilaian setelah program tersebut dilaksanakan, kedua, sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian sempurna (insan kamil), seiring dengan tujuan penciptaan-Nya, ketiga, sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri (baik diri sendiri, peserta didik maupun masyarakat), upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan.[19]
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[20]
Dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam, tugas pendidik menurut Malik Fadjar adalah menanamkan rasa dan amalan hidup beragama bagi peserta didiknya. Dalam hal ini yang dituntut adalah bagaimana setiap pendidik agama mampu membawa peserta didik untuk menjadikan agamanya sebagai landasan moral, etik dan spritual dalam kehidupan kesehariannya.[21]
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa tugas pendidik adalah melaksanakan proses pembelajaran yang terintegrasi dalam kegiatan mendidik, mengajar dan melatih sehingga terlaksananya empat pilar pendidikan yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), dan belajar hidup bermasyarakat (learning to live together).[22]
Agar pendidik dapat melaksanakan tugasnya, sebagai pendidik mesti mempunyai sifat profesionalisme. Abuddin Nata menjelaskan bahwa sifat profesionalisme itu dapat dilihat dari ciri-ciri: (a) mengandung unsur pengabdian, di mana pendidik mesti dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelayanan dapat berupa pelayanan individu, dan bersifat kolektif. (b) mengandung unsur idealisme, di mana bekerja sebagai pendidik bukan semata-mata mencari nafkah, tetapi mengajar merupakan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, meringankan beban penderitaan manusia. (c) mengandung unsur pengembangan, di sini maknanya adalah pendidik mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus menerus.[23]
Berkaitan dengan profesional ini, Muh. Uzer Usman menjelaskan bahwa guru (pendidik) profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru (pendidik) dengan kemampuan maksimal. Agar profesional dapat berjalan sesuai dengan aturanya, maka profesi mempunyai persyaratan khusus, yakni: (a) menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam, (b) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya, (c) menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai, (d) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya, dan (e) memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.[24]
Sikap profesional tidak bisa bertahan dengan sendirinya tanpa dilakukan pengembangan dan penambahan dari segi keilmuan. Agar pendidik selalu mempunyai sikap profesi secara kontiniu, maka harus menguasai hal-hal sebagai berikut: pertama, menguasai bidang keilmuan, pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan kepada peserta didiknya, kedua, harus memiliki kemampuan menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya secara efisien dan efektif, ketiga, harus memiliki kepribadian dan budi pekerti yang mulia yang dapat mendorong para siswa untuk mengamalkan ilmu yang diajarkannya.[25]
Di samping itu, sikap profesional pendidik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam sekolah/madrasah. Dalam hal ini, Ahmad Tafsir menjelaskan cara menerapkan sikap profesional di sekolah/madrasah, yakni: pertama, adanya profesional pada tingkat yayasan atau pemegang kekuasaan penyelenggara sekolah/madrasah, kedua, menerapkan profesional pada tingkat pimpinan sekolah, ketiga, menerapkan profesional pada tingkat tenaga pengajar, dan keempat, melaksanakan profesional tenaga tata usaha sekolah/madrasah.[26]
Ahmad Barizi, editor buku Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, menguraikan bahwa pendidik yang profesional tidak saja knowledge based, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan berdasarkan nilai-nilai etika dan moral.[27] Bahkan pendidik mesti melaksanakan konsep humanisme religius. Humanisme religius adalah pengembangan individu dalam rangka menerapkan dan meraih tanggungjawab (istikmal atau perfection), sehingga ucapan, cara bersikap dan tingkah laku guru ditunjukkan agar peserta didik bisa menjadi insan kamil yakni sempurna dalam kaca mata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama.[28]
Di samping pendidik memiliki sifat profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya, dalam era globalisasi sekarang yang serba kompleks, pendidik harus melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, diperlukan adanya kegiatan orientasi secara periodik antar pendidik, kedua, mengarahkan penataran dan penyetaraan yang sedang berlaku kepada pengembangan wawasan dan bukan semata pada hal-hal yang bersifat teknis, seperti hanya berkisar pada persoalan instruksionalnya tetapi lebih jauh dari itu adalah yang bersifat penalaran konsepsional, ketiga, ada baiknya buku paket untuk pendidik, karena keterbatan pendidik memiliki sumber belajar dan informasi.[29]
Pelaksanaan tugas pendidik di lapangan sebagai tenaga profesional akan menghadapi problema yang serius, sehingga dapat menghambat tugas-tugasnya sehari-hari. Agar tugas tugas tersebut dapat berjalan lancar, maka pendidik harus bersandar dan mempraktekkan kewajiban-kewajibannya sebagai berikut: pertama, menekuni pekerjaan seorang pendidik harus ikhlas dalam mengajarkan pelajaran kepada para pendidik dengan teliti dan yakin akan pemahaman yang ditangkap oleh mereka, serta mengikutsertakan ujian dari satu waktu ke waktu lain. juga tidak membiarkan sedikitpun waktu yang telah ditentukan untuk mengajar berlalu tanpa tanpa hasil bagi para pendidik, kedua, seorang guru harus mengambil contoh yang baik dari Rasulullah saw. sebagai orang yang pertama yang mengajarkan manusia tanpa mengharapkan balasan apapun secara keseluruhan, ketiga, seorang guru harus puas dengan gaji yang diberikan negara baginya dan harus berkeyakinan bahwa pahala yang besar hanya dari Allah, serta harus selalu mengingat sabda Rasulullah saw., keempat, seorang guru harus memperhatikan para pelajar dalam belajarnya seperti perhatiannya terhadap anak kandungnya sendiri, karena statusnya sebagai pengganti kedua orang tuanya.[30]
Pada bagian lain, pendidik harus memiliki krakteristik profesional, yakni; pertama, komitmen terhadap profesionalitas, kedua, menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapeta bagi diri, masyarakat dan lingkungannya, keempat, mampu menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan (centre of self-identification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya, kelima, mampu bertanggungjawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).[31]
Sedangkan M. Arifin menegaskan bahwa guru (pendidik) yang profesional adalah guru (pendidik) yang mampu mengejawantahkan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah di samping mampu menekuni profesinya selama hidupnya.[32]
Di samping pendidik memiliki sifat profesional, pendidik menurut an-Nahlawi harus memiliki sifat. Sifat pendidik tersebut adalah: pertama, harus memiliki sifat rabbani, kedua, hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniahnya dengan keikhlasan, ketiga, hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar, keempat, ketika menyampaikan ilmu kepada peserta didik, harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa apa yang ia ajarkan dalam kehidupan pribadinya, kelima, harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya, keenam, harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran, ketujuh, harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya, kedelapan, harus memahami psikologi peserta didik, kesembilan, harus peka terhadap fenomena kehidupan, kesepuluh, harus memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. [33]
[1] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 134. Pada bagian lain Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor, Kencana, 2003), h. 145-146 mendefenisikan mengajar dengan penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan proses belajar mengajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan instruksional (kompetensi dasar) yang ingin dicapai, materi yang akan diajarkan, pendidik dan peserta didik yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia. Di samping itu, menurut Al-Syaibany, dalam mengajar, pendidik harus mengetahui dasar-dasar umum metode mengajar. Paling tidak menurut Al-Syaibani dasar umum itu adalah dasar agama dan dasar bio-psikologis. Lihat Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 586-591
[2] Abuddin Nata, Paradigma …..op.cit., h. 135. Menanamkan ideologi Islam ini, Abuddin Nata, mengutip pendapat Muhammad S.A. Ibrahimmy, — sarjana pendidikan Islam Bangladesh — , dimana menurut Ibrahimmy, pendidikan Islam dalam pengertian sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang menginginkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga ia dengan mudah dapat membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam harus mengalami perubahan menurut tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ruang lingkup pendidikan Islam itu juga makin luas.
[3] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.ke-5, h. 135-136
[4] Ramayulis, op.cit., h. 88. Dalam uraiannya tentang tugas pendidik, Ramayulis menyamakan antara tugas pendidik dengan peranan pendidik. Dalam kaitan ini penulis cenderung membedakan antara tugas pendidik dengan peranan pendidik
[5] Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7. Lihat juga, Muhaimin, Pengembangan… op.cit., (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 50. Dalam uraiannya Muhaimin menjelaskan bahwa tugas mendidik, mengajar dan melatih dalam konteks pendidikan nasional. Dalam konteks pendidikan Islam, karakteristik ustadz selalu tercermin dalam segala aktifitasnya sebagai murabby, mu’allim, mursyid, mudarris, dan mu’addib. Pernyataan yang sama dikemukan oleh Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, h. 37. Dalam uraiannya, Djamarah menjelaskan tugas guru (pendidik) sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan meltih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas guru, karena guru harus terlibat dengan khidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Guru harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan orang tua kandung/wali anak didik dalam jangka waktu tertentu. Di bidang kemasyarakatan guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral Pancasila.
[6] Ibid. Lihat juga Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor, Kencana, 2003), h. 142-143. Dalam uraiannya Nata menjelaskan ciri-ciri profesionalisme pendidik adalah: pertama, harus menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik. Kedua, harus memiliki kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu yang dimilikinya (transfer of knowledge) kepada murid-muridnya dengan efektif dan efisien . Ketiga, harus berpegang teguh kepada kode etik profesional yakni memiliki akhlak yang mulia.
[7] Muhaimin, Pengembangan…. op.cit., h. 49-50.
[8] Muhammad Fadhil al-Jamili, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an, (t.tp: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.th), h. 13-17
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan….., op.cit., h. 78-79
[10] Ibid., h. 79. Uraian tentang rincian tugas guru, Ahmad Tafsir mengutip pendapat Ag. Soejono dalam bukunya Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, (Bandung: Cv Ilmu, 1982), h. 62.
[11]Ibid., h. 80-81
[12] Al-Ghazali, op.cit., h. 212-223, lihat juga Hery Noer Aly, op.cit., h. 96-99
[13] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut: Darul Salam, 1994) cet.III, terjemahan Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 301
[14] Abdurrahaman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Bairut, Libanon: Dar al-Fikr al-Mu’asyir, 1983) edisi Indonesia terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 170. Hal yang sama juga dikutip oleh Hery Noer Aly, op.cit. h. 95-96
[15] Samsul Nizar, op.cit., h. 44
[16] Lihat Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr. H. Abdullah Ahmad, (Padang: Syamsa Offset, 1999), h. 35. Dalam penggunaan akal ini, Abdullah Ahmad — menurut penelitian Amirsyahruddin — terpengaruh dari surat ar-Rum ayat 8 dan surat al-Isra’ ayat 36
[17]Khalil Abu al-‘Ainin, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, (t.tp: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980), h. 167
[18]Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 188-189
[19]Samsul Nizar, loc.cit
.
[20] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 20
[21] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999), h. 42-44)
[22] Rumusan empat pilar pendidikan dapat dilihat dalam Jacques Delors, et.al., Learning The Treasure Within, (France: Unesco Publishing, 1996), h. 86-97. Lihat juga Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, editor, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. liii
[23] Abuddin Nata, Paradigma ….. op.cit., h. 136-138
[24] Muh. Uzer Usman, op.cit., h. 14-15
[25] Abuddin Nata, op.cit., h. 139-140
[26] Ahmad Tafsir, op.cit., h. 116-119
[27] Ahmad Barizi, op.cit., h. 190
[28] Abdurrahaman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta; Gama Media, 2002), h. 196-197
[29] Ahmad Barizi, op.cit., 193-194
[30] Syaikh Hasan Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo: Al Ahram, 1997), Edisi Indonesia terj. Abu Fahmi Huaidi¸ Metode Islam dalam Mendidik Remaja, (Jakarta: Mustaqiim, 2002), h. 145-148
[31] Muhaimin, Wacana… op.cit., h. 216-217. Lihat juga Imam Tholkah dan Ahmad Barizi, op.cit., h. 34-35 dan h. 222-223, Berkaitan dengan profesionalisme ini, Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi menjelaskan profesionalisme pendidik dikaitkan dalam segi akuntabilitas publik, konteks pembelajaran dan pendekatan pembelajaran. Profesional dalam segi akuntabilitas publik maknanya adalah pendidik mesti kapabilitas personal, pendidik sebagai inovator dan sebagai developer. Profesional dalam segi konteks pembelajaran maknanya pendidik yang profesional dalam bidang definisi, klasifikasi, metode dan teknik pembelajaran serta norma-norma dan batas minimal keberhasilan peserta didik. Profesional dalam segi pendekatan pembelajaran maknanya pendidik harus bisa membuat model pembelajaran dalam bentuk pendidik menyampaikan dan peserta didik menerima pelajaran, pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik, situasi interaktif antara pendidik dan peserta didik, anak didik dimotivasi untuk mencari, menemukan dan memecahkan masalah sendiri, pengelolaan kelas pembelajaran.
[32] H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 106
[33] Abdurrahman an-Nahlawi, op.cit., h. 170-176
http://apri76.wordpress.com/2008/07/10/tugas-pendidik-dalam-perspektif-pendidikan-islam/
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_
Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?
dr. Fasli Jalal, Phd.
PENDAHULUAN
Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat.
Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan sosialisasi UUGD ini, patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis. Karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 – 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yangb sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru. sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.
SERTIFIKASI PROFESI GURU
Undang-undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan politik bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut.
Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang:
* Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran.
* Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen.
* Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Pertama, kompetensi pedagogik. Adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Ketiga, kompetensi sosial. Adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.
Keempat, kompetensi profesional. Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.
Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi.
Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi:
* Sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik, dan
* Berdiri sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya UUGD sudah berstatus pendidik.
Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan akan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
* kualifikasi akademik;
* pendidikan dan pelatihan;
* pengalaman mengajar;
* perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
* penilaian dari atasan dan pengawas;
* prestasi akademik;
* karya pengembangan profesi;
* keikutsertaan dalam forum ilmiah;
* pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
* penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian portofolio dapat:
* melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus, atau
* mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.
Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik.
Apa yang harus dilakukan? Menyimak dari pengalaman pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara, maka akan muncul pertanyaan. "Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?" Dan apabila gagal, "mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru?" Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Kegagalan dalam mencapai tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan sertifikasi sebagai tujuan itu sendiri.
Bagi bangsa dan pemerintah Indonesia harus senantiasa mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan sampai sertifikasi menjadi tujuan. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
JAMINAN MUTU
Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru.
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
PEMBINAAN PASCA SERTIFIKASI
Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.
Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
* menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
* mengembangkan model-model pembelajaran
* mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
* memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
* mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi guru utk menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata pelajaran dengan tugas:
* menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
* mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
* menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran dengan tugas:
* motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
* menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
* mengembangkan inovasi pembelajaran
* menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP
KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru.
PENUTUP
Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional: sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa.
Undang-Undang Guru dan Dosen telah hadir sebagai suatu kebijakan untuk mewujudkan guru profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi dan sertifikasi akan menentukan kualitas dan kompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara pemerintah menghadapi tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru.
Surabaya, 28 April 2007
Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS Unair, pada tanaggal 28 April 2007 di Surabaya
Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional
SUMBER:
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Draft Permendiknas tentang sertifikasi.
http://sertifikasiguru.org/index.php?page=home
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_
Rekruitmen Guru Demi Masa Depan Bangsa
Oleh : Drs H Hamdaini BA MPd
Saat ini, kita masih menghadapi masalah kekurangan guru. Dalam arti, belum
dapat terpenuhi kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas
dirasakan oleh hampir seluruh daerah di Nusantara ini dari zaman ke aaman. Di
daerah terpencil, tidak jarang terjadi di satu sekolah hanya ada satu atau dua
guru. Jadi, satu sekolah hanya dikelola satu guru yang merangkap sebagai kepala
sekolah dan penjaga (paman) sekolah.
Secara kualitas, kita masih kekurangan guru yang betul-betul berkualitas tinggi
sesuai standar baik profesional, fungsional maupun kompetensional. Dilihat dari
latar belakang pendidikan saja, masih banyak guru kita yang berpendidikan
setingkat SMA. Mereka yang berpendidikan di atas SMA pun, kualitasnya masih
dirasakan kurang mantap, alias masih diragukan. Kualitas guru yang dirasakan
sangat kurang atau masih rendah ini, terutama bila dihubungkan dengan pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan tuntutan masyarakat.
Lihat saja kemampuan sebagian guru kita dalam menjabarkan kurikulum,
menggunakan metode dan media pembelajaran, dan sebagainya. Belum lagi berbicara
tentang rendahnya nilai hasil ujian akhir nasional (UAN) sebagian siswa.
Indikatornya, banyaknya siswa yang tidak lulus ujian, tidak dapat memasuki
jenjang pendidikan selanjutnya yang berkualitas. Belum lagi kemampuan lulusan
sekolah kita untuk memasuki dunia kerja, atau industri yang menggunakan
teknologi tinggi. Bagaimana pun problem pendidikan seperti ini tidak dapat
dilepaskan dari faktor guru --yang masih kurang berkualitas.
Dalam masa tiga tahun terakhir, standar latar belakang pendidikan guru TK dan
SD ditingkatkan menjadi minimal lulusan Diploma Dua (D-2), lulusan Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGTK/PGSD). Belum tuntas program peningkatan pendidikan
guru dan calon guru minimal D-2, lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun
2005 yang menetapkan standar pendidikan guru minimal D-4 untuk guru dan calon
guru TK sampai dengan SMA.
Baik konsep (program) maupun praktik (aplikasi), strategi peningkatan mutu
pendidikan guru di Nusantara ini mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi
zaman. Namun langkah yang diambil pemerintah terkesan terburu-buru dan
setengah-setengah.
Lihat saja tuntutan standar latar belakang pendidikan guru SD. Tataran yang
paling banyak itu adalah guru SD yang minimal D-4. Sementara posisi guru yang
ada masih belum banyak berlatar belakang pendidikan D-2. Dari sisi lain,
lembaga pendidikan tinggi bidang ilmu keguruan dan ilmu pendidikan untuk
menyiapkan tenaga guru masih terbatas. Terutama guru yang sesuai standar.
Anggaran proyek juga sangat terbatas, bahkan mustahil dapat menuntaskan supaya
seluruh guru memiliki latar belakang pendidikan D-2.
Program pengadaaan guru sekarang ini bertumpu pada lembaga yang menyiapkannya,
yaitu FKIP untuk guru pendidikan umum dan Fakultas Tarbiyah (Faktar) untuk guru
pendidikan agama. Bagaimana kondisi mesin penghasil tenaga guru tersebut
sekarang, mari kita analisis secara singkat.
Baik FKIP maupun Faktar Negeri memiliki daya tampung yang sangat terbatas. Dari
jumlah pendaftar, hanya antara 20 sampai 30 persen yang dapat diterima. FKIP
dan Faktar Negeri relatif memiliki tenaga dosen dan fasilitas yang memadai,
kendati belum dapat disebut memuaskan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Lembaga yang boleh disebut mesin pencetak tenaga guru negeri relatif mudah
dikontrol, dikendalikan dan dievaluasi. Bayangkan FKIP atau Faktar swasta.
Dengan tanpa bermaksud mengecilkan peran swasta dalam pengadaan tenaga guru,
tetapi dapat dimaklumi dengan segala keterbatasan di bidang tenaga dosen,
fasilitas dan anggaran.
Belakangan muncul lagi konsep (program) penetapan standar kompetensi guru, yang
tentu saja berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan mereka. Mengenai
konsep standar kompetensi guru ini paling tidak harus dilihat dari dua hal
pokok, yaitu tingkat dan jenis pendidikan yang sudah atau akan dimiliki guru.
Latar belakang tingkat pendidikan guru dan calon guru, seperti minimal D-4.
Artinya mereka yang memiliki latar belakang pendidikan di bawah D-4, bagaimana
pun disebut belum memiliki standar kompetensi guru.
Mengenai latar belakang jenis pendidikan guru dan calon guru, maksudnya mereka
harus memiliki latar belakang pendidikan bidang ilmu keguruan dan ilmu
pendidikan. Ini artinya, mereka yang memiliki latar belakang pendidikan
nonkeguruan atau nonkependidikan, bagaimana pun tidak dapat pula disebut
memiliki standar kompetensi guru.
Mulai 2006 ini, pemerintah mencanangkan pengangkatan calon guru secara
besar-besaran. Prosentasenya, lebih besar di antara CPNS lain yang seluruh
berjumlah sekitar 300.000 orang. Rencana itu patut disambut gembira. Kendati di
sisi lain kita perlu mengamati dengan cermat. Informasi itu patut disambut
gembira karena masalah kekurangan guru di sebagian besar daerah dapat
terpenuhi. Namun sebagaimana diketahui, guru yang pensiun, sakit, meninggal
setiap tahunnya tidak sedikit jumlahnya.
Berbicara tentang guru, mau tidak mau kita harus berbicara tentang profesi
(jabatan) guru, sebagai tenaga kerja, warga negara dan anggota masyarakat,
kehidupan keluarga, dan pribadi guru sendiri. Berbicara tentang profesi sebagai
guru, maka harus disadari oleh dirinya sendiri dan orang lain bahwa jabatan dan
tugas guru adalah berat tapi mulia.
Oleh karena itu, profesi guru harus didukung dengan latar belakang pendidikan,
pengetahuan, pengalaman yang cukup untuk menjadi seorang guru. Artinya seorang
guru memang harus berlatar belakang pendidikan ilmu keguruan dan ilmu
pendidikan. Jadi orang yang tidak mempunyai latar belakang seperti ini,
bagaimana pun tidak akan mampu dan tidak mempunyai kompetensi sebagai guru
dalam arti yang sesungguhnya. Karena guru adalah jabatan profesi, maka ia harus
berlatar belakang pendidikan ilmu keguruan dan ilmu pendidikan serta bekerja
sebagai guru, yaitu berkiprah di bidang pendidikan.
Dalam kaitan itu, mau tidak mau dan like or dislike, setiap guru wajib berperan
sebagai EMASLIM bagi siswanya dalam kegiatan pembelajaran. EMASLIM ialah
akronim dari Educator, Manager, Administrator, Supervisor, Leader, Inovator dan
Motivator. Semua peran itu harus menyatu dalam diri seorang guru yang
prefesional. Misalnya guru yang berperan sebagai pengajar, ia harus mampu
menjabarkan dan menyajikan materi pelajaran sesuai kurikulum dan garis besar
program pembelajaran yang ditentukan. Dalam perannya sebagai pengajar, guru
harus terampil menyusun program pengajar untuk kurun tertentu, membuat
persiapan kegiatan belajar mengajar (KBM), menyiapkan alat peraga atau media
pembelajaran, pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran, pengelolaan kelas dan
sebagainya.
Sebagai pendidik, tugas guru bukan saja mengajar. Tetapi lebih dari itu, yaitu
mengantarkan siswanya menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berbudi luhur
(berakhlak mulia) (Depdagri dan Depdiknas, 1996: 5). Sebagai tenaga kerja, guru
harus mendapatkan gaji atau upah yang memadai untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya. Di Indonesia sejak dahulu kala sampai sekarang, gaji guru negeri
relatif belum mencukupi kebutuhan keluarga. bahkan belum dapat disebut lumayan.
Sebagian besar guru kita tidak dapat kuliah atau menguliahkan anaknya.
Apalagi guru bantu, guru bakti atau guru honor. Guru bantu mendapat menghasilan
Rp450.000 per bulan, guru bakti lebih kecil dari angka itu. Guru honor tidak
sedikit yang berpenghasilan Rp75.000 per bulan. Bayangkan, penghasilan demikian
untuk biaya hidup dan kehidupan di tengah harga BBM yang naik dua kali lipat
disusul kenaikan harga barang dan jasa yang melambung.
Sebagai warga negara/anggota masyarakat, guru harus ikut berperan dan menjadi
pelopor aktif. Guru harus membayar pajak kendaraan, PBB, arisan, sumbangan
untuk masjid, langgar, madrasah, hari besar nasional/keagamaan dan sebagainya.
Dalam kehidupan keluarga dan pribadi, guru harus merupakan figur (sosok) yang
pantas menjadi panutan (teladan).
Dengan eksistensi guru kita seperti sekarang dengan berbagai problemanya, tidak
banyak yang dapat diharapkan untuk peningkatan mutu pendidikan secara nasional.
Karena itu, seperti bangsa yang maju, pemerintah Indonesia (pusat/daerah) harus
serius dan sepenuh hati untuk meningkatkan profesionalme dan kesejahteraan guru
secara total. Karena persoalan guru adalah persoalan pendidikan. Berbicara
tentang persoalan pendidikan, berarti kita berbicara tentang masa depan bangsa.
Jika pemerintah hanya setengah hati, maka nasib bangsa ini di masa depan akan
suram, buram dan kelam. Karena akan terjadi stagnasi (kemacetan) dan gap
(jurang pemisah) di antara anak bangsa untuk mendapatkan mutu pendidikan yang
baik. Maka, yang namanya pendidikan hanya dapat dinikmati segelintir orang yang
mampu (kaya/pejabat). Apabila terjadi keadaan seperti ini maka segala bentuk
kriminalitas, premanisme, brutalisme, sadisme dan sebagainya akan merajalela.
Karena sebagian besar anak bangsa yang bodoh dan miskin hari ini akan menjadi
dewasa esok tanpa pendidikan, tanpa ilmu, dan tanpa moral.
Adalah menjadi realitas sekarang bahwa maraknya pelaku kriminal, perampok,
pencuri, pelacur dan sebagainya, sebagian besar disebabkan ketiadaan
pendidikan, ilmu dan moral dalam diri mereka, di samping lemahnya hukum.
Di sini, peran guru sangat besar. Rekruitmen guru demi masa depan bangsa harus
dicermati serius dan sungguh-sungguh oleh pejabat, elit dan petinggi
pemerintahan di negeri ini. Sebab, tangan mereka berkaitan erat dengan
kebijakan yang sangat strategis dan anggaran yang sangat besar.
Memang peran masyarakat tidak bisa dianggap kecil, tetapi peran pemerintah yang
paling dominan. Karena itu wajar, apabila segenap lapisan masyarakat menggugat
pemerintah yang kurang peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan. Disadari
atau tidak, pemerintahan sekarang (pusat/daerah) diduga melakukan pelanggaran
UUD 1945 yang diamandemen. UUD 1945 antara lain mengamanatkan, anggaran belanja
(APBN/APBD) untuk pendidikan minimal 20 persen.
Begitulah rekruitmen guru yang berkualitas demi masa depan bangsa yang maju dan
modern. Mengenai kebijakan dalam rekruitmen guru, yang harus menjadi
pertimbangan adalah seleksi pengangkatan dan pembinaan profesi guru. Mulai 2006
ini, pemerintah harus konsisten dan konsekuen pada UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen yang ditetapkan 30 Desember 2005. Rekruitmen guru harus mengacu
sepenuhnya pada UU tersebut, agar tidak sampai terlambat.
Konsistensi dan konsekuensi itu harus dipegang teguh oleh pemerintah pusat dan
daerah, agar rekruitmen guru benar-benar dan sungguh-sungguh berorientasi pada
masa depan bangsa. Apabila pemerintah melaksanakan rekruitmen guru tidak
mengacu pada prinsip profesionalitas guru, maka masa depan bangsa ini semakin
suram dan gelap.
Karena itu, tidak ada alternatif lain kecuali harus mengacu pada prinsip
profesionalisme guru masa depan yaitu yang memiliki bakat, minat, panggilan
jiwa dan idealisme sebagai guru; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keilmuan, ketakwaan dan berkahlak mulia; memiliki kualifikasi
akademik dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya;
memiliki kompetensi, tanggung jawab profesional, memiliki jaminan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dan sebagainya. Hal ini
sesuai Pasal 7 ayat (1) UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Beginilah
harapan kita demi masa depan bangsa.
* Pengamat pendidikan, tinggal di Martapura
http://groups.yahoo.com/
_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_
MENELUSURI KARAKTERISTIK IDEALISME GURU
Oleh Muliadi Kurdi[1]
dosen honorer pada Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ustad pada Pesantren Modern Al-Manar Aceh Besar
Abstrak
Keberhasilan pendidikan tergantung pada banyak faktor, namun yang terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber daya pontensial guru yang sarat nilai moral dalam melakukan transpormasi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Dalam angkatan bersenjata faktor ini disebut dengan “the man behind the gun”. Orang-orang militer berpendapat bahwa bukan senjata yang memenangkan perang, tetapi serdadu yang memegang senjata itu. Serdadu tidak akan memenangkan suatu pertempuran apabila tidak menguasai strategi perang.
A. Pendahuluan
Guru dituntut memiliki kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subjek didik. Kualitas seorang guru itu dapat diukur dari moralitas, bijaksana, sabar dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subjek didik. Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-masalah sulit, tidak mudah frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, dan tidak destruktif.
Seorang guru mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Dia tidak hanya dituntut mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek keterampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengejewatahkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain).
Mahdi Ghulsyani dalam karyanya, “Filsafat Sains Menurut Al-Quran”, mengatakan bahwa guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketaqwaan dan pengetahuan. Di samping itu, Mahdi Ghulsyani juga menyebutkan karakteristik guru, antara lain adalah memiliki moral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.[2]
Al-Quran sebagai landasan paradigma pemikiran pendidikan Islam, telah banyak mengungkapkan analisir kependidikan yang memerlukan perenungan mendalam, terutama bagi praktisi pendidikan. Pemikiran pendidikan yang berlandaskan kepada wahyu Tuhan menuntut terwujudnya suatu sistem pendidikan yang komprehensif, meliputi ketiga pendekatan dalam istilah ilmu pendidikan yaitu cognitive, affective dan psycomotoric. Ketiga pendekatan ini yang nantinya akan mampu melahirkan pribadi-pribadi pendidik yang akan berperan dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan mampu mengembangkan peserta didik ke arah pengamalan nilai-nilai Islam secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi realitas wahyu Tuhan.[3]
Karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai Al-Quran saat ini jauh sebagaimana diharapkan. Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive) dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan Al-Quran, yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal. Sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang dapat memadukan tiga aspek tersebut dengan cara mentransferkan pengetahuan serta mewariskan nilai-nilai bagi peserta didik dan generasi selanjutnya. Maka keharusan melahirkan kalangan yang dapat berperan sebagai medium (pendidik) dalam proses pentransferan ilmu, itu kemudian menjadi suatu keniscayaan.[4]
Dari kesenjangan ini, perlu adanya pengkajian kembali nilai-nilai pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Penjelasan ini diharapkan akan menjadi sebuah solusi dan menjadi sebuah bahan renungan bagi para pendidik, guru dan orang-orang yang concern terhadap kepembangunan pendidikan di Aceh kususnya dan di Indonesia umumnya.
B. Reaktulisasi Profil Seorang Guru Ideal
Ukuran ideal seorang guru sangat tergantung pada kemampuan dan pengalaman intelektulitasnya. Guru harus memiliki “skill labour” yaitu tenaga terdidik atau terlatih dengan kebiasaan-kebiasaan baik, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan subjek didik. Guru merupakan figur dalam penyuksesan pendidikan bagi anak didik. Tidak cukup hanya saja, bahkan guru dituntut harus memiliki akhlak yang baik seperti diajarkan oleh Rasulullah saw.
Muhammad ‘Abd al-Qadir Ahmad menuturkan bahwa Rasul sosok sang pendidik, para sahabat sebagai subjek didik kala itu menangkap teladan yang luhur pada dirinya, berakhlak baik, memiliki ilmu dan memiliki keutamaan dalam semua gerak-geriknya.
Jika seorang pendidik mempunyai karakter seperti di atas, akan disenangi oleh peserta didik, dengan sendirinya akan disenangi ilmu yang diajarkannya. Muhammad ‘Abd al-Qadir mengatakan, “Banyak siswa yang membenci suatu ilmu atau materi pelajaran karena watak guru yang keras, akhlak guru yang kasar dan cara mengajar guru yang sulit. Di pihak lain, banyak pula siswa yang menyukai dan tertarik untuk mempelajari suatu ilmu atau mata pelajaran, karena cara perlakuan yang baik, kelembutan dan keteladanannya yang indah.”[5]
Tugas ini merupakan suatu pekerjaan yang berat dan sulit dicapai oleh seseorang, apabila ia tidak mempunyai karakter pendidik. Seorang pendidik mempunyai sifat-sifat terpuji dan mampu menyesuaikan diri baik dengan peserta didik maupun dengan masyarakat.